“Syukurlah Lif. Memang Allah itu Maha Adil ya,” katanya dengan mata berbinar. Aku mengerutkan alisku, masih tak mengerti dengan perkataan Mamat. Mendadak beberapa orang mendekatiku sambil membawa kamera dan alat tulis, mereka sibuk menghujaniku dengan berbagai macam pertanyaan dan memotretku dari sana-sini. Kutengok Mamat di sebelahku, ternyata ia telah menghilang entah kemana. Aku menggaruk kepala seperti orang bingung. Rasanya masih kaget menghadapi begitu banyak orang secara tiba-tiba.
“Apa dik Alif sebelumnya sudah tahu jika adik akan dijual dan diselundupkan ke luar negeri?, Apakah orangtua adik sebelumnya juga ke luar negeri melalui Pak Karjo?,” tanya seorang lelaki berkacamata sambil menyiapkan kertas dan pulpen yang dipegangnya. Aku hanya menggeleng, pertanyaan pun kembali datang bertubi-tubi, dan aku hanya menjawab dengan gelengan dan anggukan saja. Sejenak aku terpaku, diantara kerumunan orang-orang itu aku seperti melihat Mamak, melambaikan tangannya dan tersenyum menatapku, masih tatapan yang sama, penuh cinta.
Jakarta, 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H