Keruh, tak ada titik-titik kecil yang kupandang dari langit yang kelam itu. Batukku makin menjadi, kubiarkan saja dahaknya merayapi tenggorokan keringku. Loteng ini biasanya dipenuhi kain-kain setengah basah yang dikaitkan pada tali-tali jemuran. Namun kali ini kain-kain itu tidak ada. Baguslah, aku jadi bisa menikmati malam dengan tenang.
"Uhuk uhuk!!" Aku makin terbungkuk-bungkuk merasakan dahak sialan yang tak kunjung keluar ini.
"Lhoo Bogel di sini to??" Suara itu tak asing. Ah, pasti gadis itu lagi. Kudongakkan kepala dan aku melihat gadis itu, masih dengan wajah yang sama, bulat, dengan senyum lebar. Kedua tangannya mengangkat ember yang kelihatannya begitu berat. Pasti isinya kain-kain basah, berarti sebentar lagi aku harus pergi dari sini sebelum kain-kain itu meneteskan air dan menggangguku.
"Bogel lagi apa kamu?"
"Uhuk Uhuk!! Groooghh.."
"Bogel sakit ya? Batuk terus lho dari tadi. Sini biar Sinta pijitin." Ia mengelus kepalaku dan memijit tengkukku perlahan. Mungkin maksudnya baik, tapi justru hal itu membuatku sulit bernafas. Rasanya seperti tercekik. Lepaskan!
"Meoong! Meeeoong," hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Aku beranjak dan menghindar dari gadis itu. Masih batuk-batuk sampai terbungkuk aku membelakanginya.
"Kasihan banget sih kamu," katanya sambil beringsut mendekatiku lagi. Kemudian ia berdiri, dan meninggalkanku. Langkah kakinya terdengar menuruni tangga loteng. Huh, syukurlah dia pergi. Aku berputar mencari tempat nyaman dan berbaring lagi. Dug dug dug srek srek, ah langkah itu. Gadis itu kembali, ia membawakanku gayung yang berisi air.
"Minumlah, biar kamu nggak batuk-batuk lagi," katanya sambil menyodorkan gayung itu. Apa? Air ini? Aku sama sekali tidak membutuhkannya, yang kuinginkan hanya duduk di loteng ini sendirian. Entah itu dengan dahak yang menggumpal, atau angin yang menyaru bulu-buluku. Kau hanya bisa menggangguku saja!
Tapi tak ada yang keluar dari mulutku. Bahkan suara meong itu rasanya seperti tersekat di kerongkonganku. Kemudian aku berlalu, menulikan telingaku dari teriakannya.
"Bogel mau kemana? Ini lho udah aku bawain air biar kamu nggak batuk-batuk terus, Bogel?? Bogel??"
Masa bodoh.
Dari kejauhan aku mendengar teman-temannya tertawa pada gadis itu.
"Ya ampun Sinta, kamu ini ngomong sama siapa si?"
"Iya lho, kucing kok diajak ngomong."
"Hahaha udah stres kali dia."
***
"Bogeeeel! Sini deh aku bawain makanan buat kamu."
Dia, gadis itu satu-satunya penghuni kos yang suka mengajakku bicara, bercanda, juga tertawa. Ia juga satu-satunya orang yang mau mencari kutu-kutu yang menempel di bulu-bulu ini. Tapi terkadang aku kesal ketika ia mengganggu kesendirianku.
"Bogel udah makan belum sayang? Ini lho maem buat kamu. Tadi aku makan nggak habis, trus aku inget kamu, kan daripada aku buang mendingan biar dimakan kamu aja kan yah, kalo kata Pak Ustadz biar nggak mubazir."
Ah cerewet sekali sih. Tanpa kupedulikan ocehannya aku langsung melahap ayam goreng yang masih hangat itu.
"Bogel laper banget ya? Yaaah tau gitu tadi aku bawain lebih banyak. Eh, tau gak Gel, besok hari pertamaku kuliah. Duuuh, rasanya gimana ya kuliah?"
Hah? Kuliah? Makanan jenis apa itu?
"Besok itu ada seminar juga Gel, asiiik aku bakal ketemu orang-orang baru nanti. Kalau aku pulang kuliah nanti aku belikan otak-otak di deket halte itu. Kamu pasti suka deh."
Yayaya, terserah kamu ajalah otak-otak atau bulu-bulu, kepala-kepala, kumis-kumis yang penting bisa dimakan.
"Grrrrnymmmnyammmmeoongg," hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Ini ya minumnya, aku siap-siap dulu ah mau berangkat kerja. Daaa Bogel!" Gadis itu menyorongkan mangkuk yang berisi air. Ia kemudian berlalu dengan suara langkahnya yang khas. Aku tidak tahu kenapa ia memanggilku Bogel, aku juga tak tahu harus memanggilnya apa. Sering kudengar ia menyebut dirinya Sinta, tapi pernah juga teman-temannya memanggil gadis itu Ta! Ta! Sin! Sin!
Mungkin namanya Sinta, atau Tasin? Atau malah Sin saja? Ah, taulah. Ia datang kira-kira setaun yang lalu ke tempatku biasa tidur ini. Tadinya ia hanya sering memberiku makan dan sesekali mengelus-elusku hingga aku tertidur. Namun setiap malam menjelang pagi ia sering bertemu denganku di loteng. Lama-kelamaan Gadis itu sering mengajakku mengobrol, sepatah dua patah kata menjadi ribuan kata yang tak terhingga. Jika sore tiba, saat penghuni yang lain sedang mengantre kamar mandi, aku sengaja berguling-guling di depannya. Menggaruk-garuk punggungku pada lantai yang kasar. Jika Gadis itu melihatku berguling-guling pasti ia akan berteriak dengan gemas.
"Ya ampuuuun Gel, ih kamu kutuan lagi ya?? Sini kamu!" Ia membolak balikkan badanku dan mengangkat kaki depanku. Dengan telaten ia mencari kutu-kutu yang sedang berlarian di antara bulu-buluku. Kalau sudah ketemu kutunya, ia akan memencet kutu itu samapai suaranya terdengar ctek! ctek!. Seperti bunyi kuku yang di diadu. Kalau sudah begitu aku merasa sangat nyaman sekali, aku suka tidur di kakinya, atau menempel padanya saat ia berjalan menuju kamar mandi.
"Hush, udah jangan ngikut. Ini kamar mandi Gel, besok lagi yaa dicariin kutunya," katanya sambil cekikikan dan menutup pintu kamar mandi perlahan-lahan.
Huh. Tapi ini punggungku masih gatal sekali! Seperti biasa, yang keluar dari mulutku hanya "meeeong."
***
Kemana gerangan langkah-langkah dan suaranya yang khas itu? Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu dengan Sinta. Aku rindu pada makanan-makanan aneh yang sering ia berikan padaku. Aku juga rindu pada telapak tangannya yang halus, belaiannya yang lembut sambil sesekali menggaruk belakang telingaku. Kemana ia? Selain gadis itu, tak ada lagi yang suka mencari kutu dan berceloteh tentang hal-hal kemanusiaan yang tak kumengerti.
Dug Dug Dug Sreek Srek Srek..
Ah. Itu pasti dia.
Dan benar saja, dalam hitungan menit setelah telingaku menangkap suara langkahnya, gadis itu telah berdiri di hadapanku. Sorot matanya lelah. Kulihat ada yang tak biasa pada wajahnya. Ia terlihat sangat kacau, tidak ceria seperti biasanya. Kenapa?
Ia hanya tersenyum sambil berjongkok dan membelaiku. Aku segera berputar-putar mencari tempat yang nyaman di antara sela-sela kakinya kemudian merebahkan diri. Saat aku mendongak, ada gumpalan-gumpalan air yang berjatuhan dari matanya.
"Bogel," katanya dengan suara yang berbeda dari biasanya. Suara yang agak serak, mungkin tenggorokannya banyak dahak sepertiku. Tangan kiri gadis itu mengusap air yang jatuh dari matanya. Bibirnya melengkung ke atas, tidak melengkung ke bawah seperti biasanya. Bahkan giginya yang rapi berderet-deret itu juga tak nampak.
"Aku ingin menjadi kucing." Katanya meredam hingar bingar malam.
Kucing? Makanan apalagi itu?
Sinta kembali menjatuhkan air dari matanya. Kali ini lebih banyak, membasahi sedikit bulu-buluku. Aku diam saja, memejamkan mata dan menikmati belaian Sinta yang membuatku mendengkur dan perlahan tertidur.
Purworejo, 13 November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H