Mohon tunggu...
Ges Saleh
Ges Saleh Mohon Tunggu... Buruh - Menulis supaya tetap waras

Bercerita untuk menasihati diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pengakuan Seorang Pembunuh

8 Oktober 2020   20:17 Diperbarui: 11 Oktober 2020   12:36 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang pemuda dengan langkah pendek, perlahan memasuki sebuah kantor polisi. Wajah pemuda itu pucat, kaos longgar yang dikenakannya basah karena keringat. Petugas yang berjaga buru-buru menghalaunya karena pemuda itu begitu mencurigakan.

"Saya sudah membunuh orang, Pak," kata pemuda itu sebelum pingsan.

***

Si pemuda duduk mematung di sebuah kursi lipat buruk rupa. Ia tidak bergerak sama sekali, seolah sebuah gerakan kecil bisa meledakkan batok kepalanya. Di hadapannya seorang petugas bernama Suseno sedang menginterogasinya. Empat petugas lain, berdiri di belakang si pemuda. Bukan untuk menjaga kalau-kalau si pemuda melarikan diri, melainkan penasaran soal pengakuan yang akan disampaikan pemuda itu.

Petugas Suseno memperhatikan pemuda itu lekat-lekat. Insting polisinya mengatakan pemuda di hadapannya bukanlah seorang penjahat. Jangankan membunuh manusia, menyembelih seekor ayam pun sepertinya dia tak akan berani. Tetapi orang suci yang lemah sekali pun bisa membunuh orang jika dihadapkan pada pilihan hidup atau mati.

Petugas Suseno berusaha bersikap ramah pada pembunuh ini. Keramahan itu adalah bentuk terima kasih karena dirinya tidak perlu capek-capek menangkap dan membuatnya mengaku. Seorang penjahat yang menyerahkan diri akan selalu disambut sebaik mungkin di tempat itu.

Pemuda itu masih menunduk, menatap pola petir yang membentuk di lantai keramik kusam. Kawanan semut menembus pola petir itu dengan barisan teratur, melewati sela kaki pemuda itu tanpa rasa takut. Si pemuda berpikir, ia harus mengakrabkan diri dengan semut-semut itu karena setelah ini dirinya akan menjadi penguni tempat ini.

"Jadi, siapa yang sudah kamu bunuh?" tanya petugas Suseno. Ia bersiap-siap menyalin perkataan si pemuda di buku catatannya.

"Saya, sudah membunuh Rangga Codet, Pak," jawab si pemuda dengan gemetar.

Petugas Suseno mengerenyitkan dahi. "Bocah gila," kata seorang petugas lain sambil terkekeh.

Rangga Codet bukan nama yang asing bagi petugas Suseno dan rekan-rekannya. Orang itu adalah seorang preman yang sudah beberapa kali keluar masuk penjara. Dua hari lalu, Rangga Codet ditemukan mati dalam pelukan seorang PSK di tempat lokalisasi. Dia mati lantaran mengonsumsi terlalu banyak obat kuat. Petugas Suseno adalah salah satu orang yang mengonfirmasi kematian Rangga Codet.

"Bagaimana kamu membunuhnya?"

"Saya..." ucap pemuda itu terbata-bata, " Saya menyumpahinya supaya mati, Pak," sambungnya.

Kali ini petugas Suseno ikut tertawa bersama rekan-rekannya.

"Katakan, obat terlarang apa yang sudah kamu pakai?" tanya petugas Suseno kembali.

"Tidak, Pak. Saya tidak pernah pakai barang begitu, Pak. Sumpah."

"Ya, kalau begitu artinya kamu memang gila."

"Saya masih waras, Pak."

"Tidak ada orang waras yang mengaku-ngaku membunuh orang dengan cara menyumpahi?"

"Saya memang sudah membunuh, Pak. Buktinya Rangga Codet mati tidak lama setelah saya sumpahi."

Petugas Suseno kembali terkekeh bersamaan dengan petugas lain yang mulai meninggalkan ruang interogasi. Ia menyandarkan punggungnya dengan malas di sandaran kursi. Mengambil sebatang rokok dari saku seragamnya, dinyalakan, kemudian memompanya dengan lepas. Niatnya untuk membuat catatan sudah hilang sama sekali.

"Saya penasaran, kenapa kamu membunuh Rangga Codet?"

"Rangga Codet orang jahat, Pak. Dia selalu meminta uang pada saya dan para pedagang lain di pasar. Kalau kami tidak bayar, dia tidak segan-segan menghancurkan dagangan kami. Kadang-kadang, tanpa alasan juga, Rangga Codet memukuli orang-orang di pasar. Tidak ada yang berani padanya. Saya berpikir, mungkin jika Rangga Codet mati, hidup kami akan lebih tenang. Saat itulah saya menyumpahinya supaya mati. Besoknya saya mendengar kabar kalau Rangga Codet benar-benar mati."

Petugas Suseno membuat kepulan asap berbentuk cincin yang melesat menembus langit-langit. "Kenapa kamu menyerahkan diri?"

"Saya merasa bersalah, Pak. Makanya, saya menyerahkan diri untuk menebus kesalahan saya ini, Pak."

"Hmm, kalau begitu saya akan langsung memutuskan hukuman buatmu." Petugas Suseno menegakkan badannya dan memasang wajah serius. Rokoknya diletakkan di pinggiran meja. "Satu, menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan. Dua, menjatuhkan pidana pada terdakwa oleh karena itu dengan penjara selama seumur hidup." Petugas Suseno memukul meja dengan tangannya beberapa kali. Rokoknya jatuh.

Pemuda itu menangis. Sudah terbayang olehnya hidup di dalam penjara, jauh dari keluarga dan orang-orang yang dikenalnya. Baru keluar nanti, saat punggungnya membungkuk dan dirinya tidak dikenali lagi.

"Kamu bisa pulang sekarang," kata petugas Suseno, sambil membersihkan ujung rokok yang akan disumpal di bibirnya.

Pemuda itu memasang mimik bingung pada wajahnya. "Pulang, Pak?" tanyanya.

"Iya."

"Bukankah saya dipenjara seumur hidup?"

"Ya. Kamu membunuh dalam hatimu, maka kau juga dipenjara dalam hatimu."

"Maaf, Pak, saya tidak mengerti."

"Kamu ini memang bodoh, ya. Mau seribu orang mati karena kau sumpahi, tidak akan membuat masuk penjara. Undang-Undang kita tidak mengatur hukuman untuk orang yang menyumpahi orang lain mati. Lebih baik kau pulang sekarang. Nikmati hari-hari damaimu karena Rangga Codet sudah masuk ke lobang kubur."

"Apa Bapak sedang bercanda?"

"Tidak. Saya sudah telanjur minder beradu lawakan denganmu. Cepat pergi sebelum saya berubah pikiran!" perintah petugas Suseno.

"Terima kasih, Pak," ucap pemuda itu dengan penuh kebahagiaan. Tangan petugas Suseno diciumi sebelum pemuda itu pergi.

"Tunggu sebentar," kata petugas Suseno. Ia mengambil sesuatu dari laci mejanya. "Kalau kamu mau orang-orang kecil sepertimu hidup tenang di negara ini, kau bisa sumpahi orang ini agar cepat mati," lanjutnya sambil menunjuk sebuah wajah di halaman koran. Pemuda itu tidak menjawab, kemudian menghilang dari balik pintu.

Petugas Suseno masih tetap di tempat duduknya, menunggu sampai rokok di tangannya habis sempurna. Pada halaman kertas yang sudah sebagian terisi itu, petugas Suseno melanjutkan menulis: orang-orang yang diberi kekuatan harusnya berpikir dua kali sebelum menindas orang lemah, karena mereka bisa balik melawan dengan doanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun