"Mereka bilang kalau mas Jaka ninggalin mbak karena  mbak nggak bisa kasih anak. mereka nggak tahu kalau mas Jaka itu kerja. dia tiap pagi makan sarapan yang mbak buatin buktinya."
jantungku tiba-tiba berdegub kencang. Aku merasa sangat bersalah. Aku hanya bermaksud agar mbak Sri tidak ngamuk atau kecewa karena makanannya tidak di makan mas Jaka. aku nggak mau mbak Sri gila.
***
"Aaarrrggghhh!!!"
aku yang tengah asik menyulam kaget mendengar teriakan dari dalam kamar mbak Sri. rasa takut dan cemas campur aduk jadi satu. Dengan keberanian seadanya kulangkahkan kaki menuju kamar mbak Sri. beberapa langkah kaki terdengar dari depan rumah, mungkin beberapa tetangga yang mendengar teriakan mabk Sri ingin tahu apa yang terjadi. tapi, sebisamungkin kututupi apapun yang terjadi pada mbak Sri.
"Mbak, boleh kemuning masuk?"
kubuka ointu kamarnya, kudapati dia tengah nangis tersedu. isak tangis terdengar sangat sedih. Di wajahnya tak lagi tergambar beban berat.
"Kemuning, mbak nggak gila."
"Aku percaya sama mbak."
"Mbak tahu apa yang terjadi, dan mbak hanya menjalan tugas sebagai seorang istri. apa yang mbak lakuakn itu semata-mata hanya harapan kalau masmu akan kembali."
Mbak yang biasa diam, hari ini dia bertutur tentang perasaannya dan harapan yang selalu ia tumpahkan dalam perilaku anehnya tiap pagi.