Pagi-pagi buta mbak Sri sudah sibuk di dapur menyiapkan untuk sarapan hingga makan siang. Ia jarang memintaku membantunya. Ia memang tahu kalau adiknya yang ayu ini sangat malas.
"Kemuning, mbak mau berangkat ke pasar. Sarapan sudah ada di meja. tolong bantu mbak jemur pakaian."
Mbak terlihat sudah rapi dengan pakaian dinas jualannya dan beberapa sembako di atas sepedanya. gincu merah dan bedak talek tak lupa menutupi wajahnya yang banyak bintik hitamnya. mbak Sri jadi senang dandan beberapa bulan belakangan.
"Mbak, kok, ada dua piring, mbak Sri nggak makan?" tanyaku.
"Buat masmu. Oia, bilang sama masmu kalau mbak hari ini ke pasar."
Mbak Sri pun berangkat dengan wajah berseri-seri. yang aku tahu, mas Jaka masih belum kembali sejak tiga bulan lalu, dan mbak Sri belum juga sembuh dari traumanya.
Setiap pagi inilah yang kukerjakan, membuang makanan yang mbak Sri sediakan untuk mas Jaka ke tempat makan ayam, dan bilang kalau mas Jaka sudah pergi kerja lagi.
"Beres. hmmm, aku pikir mbak Sri ke pasar karena sudah sembuh."
***
"Sri, ngapain kamu ke sini?" kata seorang ibu tetangga.
"Saya mau jualan, bu."