"Halo Ibukota"
Itulah kalimat sapaan yang saya ucapkan saat pertama kali menginjakkan kaki di ibukota Jakarta. Setengah tahun yang lalu tepatnya, mata saya terkagum-kagum melihat sederetan gedung-gedung pencakar langit yang berdiri megah di pusat kota. Belum lagi jalanan yang tertata rapi dan bersih, membuat saya tidak berkedip memandang setiap sudut kota.Â
Pandangan Pertama di Ibukota
Saya sempat membanding-bandingkan keadaan jalanan di kota saya dengan jalanan di ibukota, pastinya sangat jauh sekali berbeda. Nama saya Niko, saya seorang mahasiswa yang berasal dari kota Medan, kota yang baru-baru ini viral dengan sebutan "Kota sejuta lubang". Bagaimana tidak, untuk seukuran kota metropolitan sudah seharusnya jalanan di kota Medan menjadi identitas kota.Â
Sebagai pendatang, saya tidak begitu tahu apa saja permasalahan sosial yang dihadapi warga Jakarta. Namun masalah kemacetan pastinya merupakan salah satu permasalah yang mendasar di ibukota. Â Hal ini tidak lepas dari padatnya populasi penduduk Jakarta dan banyaknya volume kendaraan yang lalu lalang di ibukota setiap harinya. Untuk permasalahan yang satu ini, saya yakin sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahuinya dan tak jarang orang mengaitkan "kemacetan" sebagai ikon kota Jakarta.Â
Jakarta Kota Macet, Benarkah ?
Tujuan saya hijrah ke ibukota selama beberapa bulan adalah untuk melakukan penelitian di salah satu lembaga yang berada di kota Tangerang Selatan . Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan studi, keterbatasan alat-alat penelitian memaksa saya mengambil keputusan untuk melakukan penelitian ke pulau Jawa. Terlena dengan keadaan Ibukota yang rapi, bersih dan teratur membuat saya lupa untuk membuktikan secara langsung kemacetan di ibukota yang sering ditayangkan di televisi.Â
"Apa mungkin saat saya tiba di Jakarta, jalanan belum memasuki jam macet ? Atau mungkin jalanan yang saya lalui bukanlah titik kemacetan utama di Jakarta ? saya bergungam"
Menjadi seorang pendatang pastinya tak luput dari sarana transportasi. Meskipun tempat penelitian saya di kota Tangerang Selatan pastilah bakal sering ke Jakarta untuk beberapa keperluan. Secara umum sarana transportasi di ibukota sungguh sangat memadai. Bus, Commuter Line, dan Angkutan Umum semua sangat terjadwal, sehingga tidak perlu memakan waktu untuk menunggu suatu kendaraan. Belum lagi jasa angkutan online sangat menjamur membuat saya tidak sulit untuk berpergian di ibukota.Â
Merespon hal tersebut, sayapun tidak mau ketinggalan. Berdasarkan anjuran dari teman-teman yang juga melakukan penelitian, saya memberanikan diri untuk menginstal aplikasi Uber di aplikasi Play Store. Efisiensi waktu dan ke tidak tahuan saya akan jalanan dan tempat-tempat di ibukota, menjadi pertimbangan yang sangat serius untuk menginstal aplikasi Uber. Maklum saja, saat itu di kota asal saya kendaraan online belum sepopuler di Jakarta, sehingga saya tidak memerlukan aplikasi tersebut.Â
Namun alangkah terkejutnya saya, sekembalinya ke kota Medan kendaraan online sudah ikut menjamur. Selain kenyamanan yang diberikan, ragam promo yang ditawarkan oleh berbagai jasa angkutan onlinepun sangat bombastis, menjadikan banyak warga medan menggunakan jasa angkutan tersebut.
Apakah Jakarta Sudah Merdeka ?
Pada suatu hari saya berbincang-bincang dengan salah seorang warga Tangerang Selatan yang bekerja di ibukota, beliau merupakan salah seorang pegawai di salah satu perusahaan di wilayah Jakarta Selatan.Â
"Enak yah pak kerja di Jakarta. Jalanannya bagus, rapi dan bersih, transportasi lengkap, orang-orangnya juga ramah dan disiplin. Saya bakal betah pak kalau kerja di Jakarta, merdeka rasanya."
"Siapa bilang Jakarta sudah merdeka ? balasnya. Jakarta itu merdeka jika yang namanya kemacetan itu bisa diusir dek. Setiap hari saya harus pergi lebih awal ke kantor agar tidak terkena macet, sekali saja saya tidak disiplin waktu maka kemacetan bonusnya, begitulah dia memaparkan"
Kemacetan adalah Takdir Ibukota ?
Tibalah pada saat saya hendak membeli peralatan penelitian di salah satu mall di kawasan Jakarta Pusat. Kemacetan ibukota yang selama ini hanya saya saksikan di layar televisi, kesampaian juga saya mencicipinya. Dari kaca mobil, saya melihat deretan kendaraan pribadi berjejer hingga ujungnya pun tidak kelihatan. Awalnya saya merasa biasa saja, namun lama kelamaan saya mulai naik pitam. Bagaimana tidak, hampir satu jam kendaraan yang saya naiki hanya bergeser sekitar 100 meter. Sebagai pendatang dari kota Medan saya mulai emosi dibuatnya. Ingin rasanya menerobos jalan, namun sayang jalan yang mau diterobos pun  tidak ada. Saya berpikir jika hal ini terjadi di kota Medan, mungkin para pengendara akan menerobos lewat udara mengingat pengendara kota Medan ahlinya dalam terobosan. Untungnya para pengemudi di ibukota terbilang tertib dan rapi, bahkan di tengah kemacetan sendiri sangat jarang terdengar suara klakson kendaraan. Berbeda dengan di kota Medan, dimana para pengemudi paling hobi pamer klakson disaat terjebak kemacetan.Â
Kesabaran saya pun sudah mulai habis, saat cuaca yang panas, sumpek, ditambah lagi perut dalam keadaan lapar, membuat level kesabaran saya mendekati angka nol. Ingin rasanya saya turun dan berjalan kaki hingga ke tempat tujuan. Bayangkan saja, waktu tempuh seharusnya, yang sudah saya perhitungkan menggunakan rumus fisika meleset jauh dari perkiraan, bahkan jika diralatkan mungkin bisa mencapai 300%. Keingginan saya untuk mencari pekerjaan di ibukota setelah lulus nanti mulai saya kaburkan. Bagi saya maupun anak medan lain pada umumnya, kemacetan seperti ini pastinya akan mempengaruhi banyak hal, mengingat tingkat kesabaran dan pola pikir orang medan yang sangat berbeda dengan warga jakarta.
Keadaan Kota Jakarta Kedepannya
Sejatinya saya tidak tau bagaimakah keadaan psikologis warga jakarta menghadapi situasi seperti ini. Namun dari pengalaman saya beberapa bulan di Jakarta, sedikit banyaknya kemacetan sudah menjadi penyakit kronis yang belum ada obatnya.Â
"Pantas saja beliau berkata demikian, saya teringat perkataan seorang bapak yang pernah berbincang dengan saya pada tempo hari"
Dari situlah saya membenarkan bahwa Jakarta belum merdeka.
Lalu timbul pertanyaan di benak saya, bagaimana Jakarta beberapa tahun yang akan datang ? Mungkin saja video UBER Boxes Sunrise berikut ini dapat menvisualisasikannya.
Saat saya menonton video tersebut, saya berpikir hal serupa, seperti yang dipikirkan sang creator. Itu adalah realitanya, saat populasi warga terus meningkat begitupun juga dengan jumlah kendaraan. Pembangunan kota, gedung-gedung dan infrastruktur mengurangi luasan lahan parkir. Lalu timbulah berbagai problem seperti yang ditampilkan pada video singkat tersebut.
"Jadi, kapan Jakarta merdekanya ? "
"Apakah itu hanya akan jadi wacana ?"
"Bisakah walikota Jakarta yang baru menuntaskannya ?"
Ride Sharing, Mau ?
Semua tidak akan terwujud tanpa adanya kesadaran warga jakarta maupun para pendatang yang beraktivitas di ibukota. Mulai membiasakan diri menaiki transportasi umum mungkin adalah salah satu kontribusi yang bisa dilakukan untuk menanggulangi masalah kemacetan di Jakarta.Â
Selain itu konsep ride sharing juga dapat diterapkan sebagai sebuah solusi cerdas, mengingat kemajuan teknologi yang saat ini sudah mumpuni. Konsep ride sharing memungkinkan kita untuk bebagi kendaraan dengan penumpang lain yang searah atau satu tujuan. Dengan konsep ini, kita bisa menghemat waktu menjadi lebih efisien, hemat bahan bakar, dan mengurangi kesulitan mencari lahan parkir.
Beberapa jasa angkutan online pun mulai berinovasi dan memikirkan solusi atas permasalahan tersebut, tak ketinggalan Uber. Dengan sistem car polling Uber melalui uberPOOL menawarkan jasa berbagi kendaraan dengan trend "Bersama-sama, kita bisa hemat".
Konsep ini sangat cocok di terapkan di ibukota sebagai salah satu cara mengurai kemacetan. Selain itu untuk kota-kota besar lainnya, menerapkan konsep ride sharing merupakan salah satu upaya dini dalam menanggulangi permasalahan kemacetan.
Dengan sistem perbaharuan berkendara seperti yang telah dijelaskan, " Jakarta merdeka, sebatas wacana kah ?"
*Salam kompasiana...............,
 Pengalaman pribadi dan pendekatannya
 Medan, 09 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H