Di Halmahera Tengah, laporan AEER menunjukkan bahwa pembebasan lahan berskala besar sejak dimulainya pembangunan Kawasan Industri Teluk Weda pada tahun 2018 telah menyebabkan sengketa lahan dan hilangnya tempat tinggal bagi warga, terutama di tiga desa: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gema.Â
Dengan ini banyak masyarakat desa-desa yang kehilangan tempat mata pencaharian mereka dan juga tempat tinggal mereka. Selain itu, tenaga pekerja Indonesia yang belum sepenuhnya siap dalam menjalani mesin-mesin pertambangan dan pengolahan bahan baku juga menyebabkan banyak kecelakaan kerja.Â
Kecelakaan kerja ini meliputi meledaknya smelter yang bisa menyebabkan banyak korban jiwa. Akibatnya pertambangan nikel memiliki dampak negatif yang signifikan dalam merguikan kehidupan masyarakat lokal dan juga para pekerja.Â
Kedua pertambangan nikel memicu terjadinya deforestasi. Deforestasi memicu terjadinya krisis iklim dan keanekaragaman hayati yang sangat merugikan.Â
Dengan menggunakan analisis geografis, Climate Rights International (CRI) dan AI Climate Initiative di University of California, Berkeley, ditemukann bahwa setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebangi di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, yang berarti hilangnya sekitar 2,04 juta ton gas rumah kaca (CO2) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.Â
Dengan ini, pertambangan juga memicu berbagai kerusakan lingkungan seperti pemanasan global dari polusi udara dan juga kehilangan keanekaragaman hayati.Â
Kesaksian dan Tanggapan Masyarakat
Pertambangan nikel memiliki banyak sekali dampak negatif yang sangat merguikan baik bagi masyarakat dan juga lingkungan. Dengan ini terdapat banyak kritik dari masyarakat lokal terkait pertambangan nikel.Â
Masyarakat lokal telah mengalami ekploitasi dan menerima dampak langsung dari eksploitasi ini dan kerusakan lingkungan, seperti menurunnya kualitas air, hilangnya lahan produktif, serta polusi udara yang mengancam kesehatan.Â
Masyarakat lokal merasa bahwa industri nikel lebih menguntungkan bagi segelintir pihak, terutama pemilik modal dan oligarki, dibandingkan mereka yang telah merasakan dampak negatifnya.Â
Hal ini dikarenakan sistem kapitalisasi di Indonesia yang masih kuat, sehingga keuntungan dapat dikuasai oleh pemilik modal dan oligarki, sedangkan masyarakat lokal tidak mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, mereka mengkritik bahwa masalah utama ada di ketidak merataan distributi uang yang merugikan masyarakat lokal.