Seperti yang kita ketahui, kota merupakan tempat dimana manusia tinggal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berkelompok.
Menurut Amos Rapoport, kota adalah suatu pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial.
Kota di negara berkembang umumnya kotor, ramai dan berisik. Salah satu fenomena yang dapat kita ambil adalah Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Berdasarkan kriteria kekumuhan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Ciptakarya 2002, Kecamatan Tambora termasuk kriteria kumuh sedang.
Tingkat kepadatan penduduk Tambora adalah yang tertinggi se-Asia Tenggara yaitu 495 jiwa/Ha. Seiring berjalannya waktu, kecamatan Tambora semakin tidak teratur.
Mulai dari jarak antar bangunan, lebar jalan yang menyempit, dan sanitasi yang buruk. Mencengangkan sekali bukan? Bayangkan jika hal ini dibiarkan berlangsung, apakah bisa memecahkan rekor kawasan terpadat sedunia?
Cukup imajinasikan saja! Nyatanya banyak perantau yang tertarik tinggal di kawasan ini.
Lalu apa alasan mereka betah tinggal di tempat yang kumuh dan sempit ini?
Berikut kita tilik alasannya :
1. Biaya hidup yang tinggi di Jakarta
Hal ini tak diragukan lagi, Jakarta memang salah satu kota dengan yang biaya hidupnya tinggi. UMR DKI Jakarta 2021 sebesar Rp 4.416.186,548. Tuntutan masalah ekonomi ini yang membuat penduduk Tambora enggan pindah ke tempat lain dan memilih untuk menetap.
“Kalau mau nyari, nyari kemana? Gak punya duit buat nyari yang segar-segar, ngontrak disini aja”, ujar Swari wanita lansia penduduk di Gang Venus, Kecamatan Tambora yang diwawancarai oleh kanal youtube MerdekaDotCom. (5/8/2016)
Swari mengatakan bahwa pendapatannya sebagai tukang konveksi tidak cukup untuk membayar kontrakan yang lebih layak. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap mengontrak di wilayah Gang Venus, Kecamatan Tambora karena biayanya murah.
2. Rasa kekerabatan
Disaat situasi genting seperti covid-19 ini dibutuhkan manusia yang peduli dan empati dengan sekitarnya. Sama seperti ucapan ketua RT 11 di Kelurahan Kalianyar, Tambora.
“Hari ini sore, minta ijin didampingi pak RW, untuk pembagian ke warga, masker udah jadi. Karena ada salah satu warga saya itu, berkat himbauan pak RW, dia bikin masker banyak.. ada sekitar berapa ratus pcs” (22/05/2020)
Ketua RW Kelurahan Kalianyar, Tambora mengatakan pada channel youtube Refleksi DAAI TV. “ Makanya, pengusaha, tokoh-tokoh masyarakat yang ada, itu nanti dilibatin dalam rangka pencegahan di masing-masing RT. Karena kalau kita selalu menunggu, menunggu bantuan pemerintah yang tidak bisa kita harapkan akhirnya nanti stress, turun imun, malah nanti kita yang kena penyakit.” (22/05/2020)
Konteks diatas dapat membuktikan bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, dan akan selalu membutuhkan orang lain.
3. Tempat tinggal tidak jauh dari tempat kerja
Semua orang pastinya mendambakan tempat tinggal mereka dekat dengan tempat kerja mereka. Entah itu golongan atas, menengah maupun bawah. Hal itu juga dialami oleh Swari dan Dio.
“20 tahunlah disini.. Nyari kerjaan, kerjanya di sablon, konveksi.. cari makan” kata Swari. (5/8/16)
Tidak jauh beda dengan Swari, Dio Sunarso (suami Darwati) mengatakan bahwa alasannya menetap di Tambora karena Tambora dekat dengan konveksi.
“Akhirnya saya menetap di Tambora karena di lokasi Tambora kan kebanyakan konveksi. Jadi kita ngambil lebih dekat aja dari konveksi gitu, biar di Tambora sini. Jadi misalkan kalau jualan ngga terlalu jauh, jadi kita netepnya disini aja gitu”, ujar Dio Sunarso. (20/10/2019)
Dari pembahasan diatas, dapat dilihat bahwa alasan penduduk tetap tinggal di daerah Tambora karena harga kontrakan di Tambora yang murah, saling bergantung antar individu, dan tempat tinggal yang dekat dari tempat kerja.
Masalah ekonomi menjadi faktor utama mereka untuk bertahan di tempat yang sempit, kumuh dan ramai.
“Jangan nganggep orang perantauan cuma menuhin Jakarta gitu. Ya, Jakarta itu kan Ibukota Indonesia gitulah. Jadi yah wajarlah dari kampung ke Jakarta merantau buat nyari duit, wajar. Soalnya di Jakarta orangnya padet jadi untuk peluang usaha itu gede gitu”, kata Dio di kanal youtube Gerilya Film Mahasiswa.
Jadi kesimpulannya adalah merantau ke Ibukota bukan solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah ekonomi, yang ada malah menambah kepadatan penduduk dan membuat fasilitas yang diberikan dengan jumlah penduduk tidak seimbang.
Lalu bagaimana solusinya? Pandangan orang desa tentang Ibukota harus dibenahi. Selain itu, mendorong Gen-Z untuk membuka UMKM agar menjadi pilar yang kuat dalam membantu perekonomian Indonesia.
Sumber referensi:
TINGKAT KEKUMUHAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN TAMBORA JAKARTA BARAT (http://antologi.upi.edu/file/Tingkat_Kekumuhan_Permukiman_di_Kecamatan_Tambora_Jakarta_Barat.pdf)
Pengembangan Kawasan Sudirman (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital%2F122709-T+25943-Pengembangan+kawasan-Literatur.pdf)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H