Mohon tunggu...
Gerald Vinch Nugroho
Gerald Vinch Nugroho Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum

Mahasiswa Hukum Universitas Katolik Parahyangan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jika Kita Sibuk Menghakimi Mereka, Kapan Mereka Bisa Sembuh?

11 Mei 2020   12:12 Diperbarui: 11 Mei 2020   12:14 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi kesehatan mental kini tak lagi bisa dianggap remeh. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik dan penyakit atau kecacatan lain yang timbul pada tubuh. 

Di Indonesia, kondisi kesehatan mental masih menjadi salah satu isu yang dikesampingkan. Padahal, secara jumlah, penderita gangguan mental terus meningkat. 

Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional dengan gejala-gejela depresi dan kecemasan pada usia 15 tahun mencapai 14 juta orang. Angka ini setara dengan 6 persen jumlah penduduk Indonesia. Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400 ribu.

Kondisi ini menggambarkan bahwa mental illness tidak memandang apapun bagi penderitanya, data menunjukkan mulai dari umur 15 tahun bahkan bisa lebih muda, dan orang -- orang dengan penyakit mental memiliki sebuah "keahlian" khusus untuk menyembunyikan apa yang mereka rasakan, mereka menyembunyikan nya dengan sangat baik, hidden in plain sight. 

Dan, depresi termasuk salah satu dari gangguan mental yang sangat sering dialami oleh masyarakat dunia, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Sebanyak 80-90 persen kejadian bunuh diri berhubungan dengan gangguan mental-emosional terutama depresi. 

Jumlah penderita gangguan jiwa pun tinggi. Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2018 mencatat, angka prevalensi depresi di Indonesia untuk kelompok usia lebih dari 15 tahun sebesar 6,1 persen atau 11.315.500 orang, dan Jawa Barat 2.310.000 orang dan seperti yang sudah saya katakan, sangat susah untuk melihat dengan kasat mata apakah seseorang mengalami depresi atau tidak, mereka sangat pintar menyembunyikan gangguan mental-emosional mereka.

Tidak percaya? Mungkin kita bisa melihat apa yang terjadi dengan komedian Tri Retno Prayudati atau yang lebih biasa dikenal dengan nama panggung Nunung Srimulat. Saat sidang kasus narkobanya, terungkap bahwa Nunung mengidap depresi. 

Depresi itu pula yang membuat Nunung harus bolak-balik berobat ke rumah sakit hingga akhirnya terjerat dengan narkoba. Hakim yang mengadili kasus pengadilan Nunung, mengatakan bahwa ia tidak percaya Nunung depresi hanya karena Nunung adalah seorang pelawak.

Ini adalah sikap yang tak etis dan membuktikan stigma yang masih mengakar kuat di masyarakat. 

Hal ini juga menggambarkan bahwa seseorang yang mengalami depresi memang memiliki tampilan yang beragam, mereka menutupi depresi mereka dengan hal yang mereka lakukan sehari-hari, dalam contoh Nunung, ia menutupinya dengan pekerjaan. Jadi, terbukti bahwa siapa saja bisa mengalami mental illness.

Penyakit Mental bisa disebabkan oleh beberapa faktor, contohnya sebagai berikut:

1. Faktor Genetik

Penyakit mental bisa diwariskan oleh garis keturunan. Gen tertentu bisa membawa risiko terjadinya penyakit mental, hal ini membuktikan bahwa keluarga pun bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan mental.

2. Paparan Saat dalam Kandungan

Gaya hidup yang tidak sehat yang dijalani oleh ibu hamil seperti konsumsi alkohol, penyalagunaan obat-obatan, paparan zat kimia berbahaya dan beracun pada ibu hamil sangat berisiko menyebabkan gangguan pada janin, termasuk gangguan mental terhadap perkembangannya.

3. Senyawa Kimia di Otak

Neurotransmitter adalah zat kimia yang ada di dalam otak kita yang memiliki fungsi untuk membawa sinyal safar ke seluruh bagian tubuh. Ketika jaringan saraf dan zat kimia ini terganggu, fungsi penerima saraf berubah, dan bisa mengarah memicu depresi maupun gangguan emosi lain.

Survei Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan ada 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini berarti, satu dari sepuluh orang di negara ini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Indonesia jadi negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara. 

Gangguan jiwa pada mental biasa terjadi di rentang umur 15-30, atau dari masa remaja sampai masuk ke jenjang pernikahan, mengapa? Dikarenakan di umur tersebut manusia banyak mengalami peristiwa yang akan mengubah pandangan mereka terhadap kehidupan yang ada di depan mereka, jika mereka kuat dan sudah dipersiapkan melewati masa-masa tersebut, maka kemungkinan besar mereka juga akan melewati nya tanpa ada luka yang tersisa, yang menyebabkan trauma pada mental mereka.

 Untuk di Indonesia sendiri, kasus gangguan jiwa yang sering terjadi salah satunya adalah Bipolar, gangguan yang dulu disebut manic-depressive illness ini menyebabkan penderitanya mengalami fase eforia (mania) dan depresi secara berganti-ganti. 

Kondisi ini disebabkan oleh gangguan mood yang merupakan gangguan emosi yang membuat suasana hati penderitanya berubah-ubah, mulai dari gembira, menjadi marah atau murung.

Lalu, bagaimana stigma masyarakat Indonesia akan mental illness atau penyakit gangguan jiwa yang disebabkan oleh terganggunya mental manusia? Menurut studi yang dilakukan oleh Stephanie Knaak pada tahun 2017, ia menyatakan bahwa "Stigma terkait kesehatan mental menjadi hambatan besar untuk mendapat akses dan perawatan berkualitas" 

Stigmatisasi yang masih sangat sering terjadi di Indonesia ini disebabkan oleh edukasi dan pengetahuan yang minim soal kesehatan mental, yang bukan merupakan hal yang dipelajari sejak masa kecil oleh masyarakat Indonesia. Indonesia bebas stigma kepada Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) nampaknya masih jadi mimpi muluk. 

Respons negatif seorang hakim terhadap masalah depresi Nunung Srimulat adalah gambaran nyata minimnya edukasi soal kesehatan mental di masyarakat, bahkan untuk kalangan berpendidikan tinggi. 

Masih sangat banyak masyarakat yang menyudutkan orang-orang yang masuk ke dalam bagian ODGJ, banyak yang menyudutkan bahwa mereka (ODGJ) bukanlah bagian dari kita, namun itu adalah hal yang sangat salah, karena jika kita tidak berhenti menghakimi mereka, kapan mereka bisa sembuh? Tindakan diskriminatif, perisakan, dan stigma negatif juga masih menghantui penderita gangguan jiwa di Indonesia. 

Gangguan jiwa kerap kali diasumsikan karena adanya guna-guna, kutukan, gangguan roh atau kurang iman. Permasalahan lain karena kurangnya fasilitas dan tenaga kesehatan jiwa.

Untungnya, ada beberapa komunitas yang membantu dan menampung aspirasi para ODGJ, hal ini membuat mereka menjadi lebih tenang dan nyaman dengan pandangan masyarakat kepada mereka, contoh komunitas seperti ini adalah Bipolar Care Indonesia, organisasi ini berupaya menjadi wadah untuk penderita, caregiver, dan siapa saja yang peduli dengan gangguan bipolar berlandaskan kasih sayang, kebersamaan, keterbukaan, kepercayaan, dan transparansi. 

Bipolar Care Indonesia memberikan edukasi kepada masyarakat tentang gangguan bipolar,memberi dukungan untuk penderita dan caregiver dengan kasih sayang tulus seperti keluarga sendiri, dan membangun penderita untuk terus melakukan kegiatan positif dan bermanfaat sebagai salah satu bagian dari terapi agar bisa hidup optimal. BCI bekerja melalui program psikoterapi, psikoedukasi dan art therapy.

Dengan adanya organisasi seperti BCI, hal ini memberikan sebuah harapan dan terang yang meyakinkan ODGJ bahwa ditengah-tengah stigma buruk yang menyelimuti keberadaan mereka, masih ada orang-orang yang peduli dan siap membantu demi kesembuhan dan ketenangan mereka, sebuah hal yang mungkin kecil namun sangat berarti bagi kehidupan mereka, mereka yang harus menghadapi kenyataan bahwa mereka "berbeda" dengan orang-orang pada umumnya. 

Namun dengan adanya BCI, kata "berbeda" bisa berubah menjadi "special." Memberikan sebuah harapan bagi mereka untuk tetap menjalani hari-hari mereka seperti biasa, seperti kita pada umumnya, tidak terjebak dalam stigma yang membuat mereka malu akan keadaan mereka. 

Dan kita sebagai anak muda dan generasi penerus bangsa, harus bisa mendukung mereka dan mendorong mereka untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, yang berbeda-beda namun tetap satu juga.

Gangguan mental tidak bisa kita anggap sepele, pasalnya banyak orang-orang yang kehilangan orang tercinta di kehidupan mereka karena gangguan mental, banyak orang yang merasa depresi dan sudah tidak ingin lagi melanjutkan kehidupan mereka, banyak dari mereka memilih jalan untuk menyelesaikannya dengan mengakhiri hidup mereka. 

Mungkin itu adalah cara mereka untuk menghilangkan rasa sakit mereka, namun, orang-orang tercinta mereka juga akan merasakan rasa sakit yang disebabkan oleh kepergian mereka. 

Namun, terkadang yang menyebabkan orang-orang tersebut tidak bisa menahan rasa sakit yang mereka rasakan datang dari orang-orang terdekat mereka, dengan stigmatisasi ataupun dengan menyalahkan mereka sebagai penderita gangguan mental. Karena terkadang, luka bisa datang dari orang-orang disekitar atau bahkan bisa datang dari orang-orang terdekat, yaitu keluarga dan sahabat.

Jadi, apakah anda sudah membantu mereka ataukah anda sudah membuat penderitaan mereka lebih berat? Mari kita refleksikan diri kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun