Berbeda dengan beberapa sekolah elite di Indonesia, yang sudah tidak menggunakan k13, dan lebih menggunakan kurikulum dari luar negeri atau kurikulum plus yang mereka kembangkan sendiri, guru-guru di Finlandia beranggapan kalau kurikulum yang dikembangkan pemerintah setempat sudah komplit dan sangat membantu pembelajaran.
Sehingga mereka merasa sudah cukup dengan menggunakan kurikulum yang ada. Dan memang, menurut mereka salah satu tugas guru adalah menjembatani antara kurikulum dengan minat siswa.
Hal tersebut juga ditunjang dengan fakta, bahwa tidak ada pengkategorian sekolah plus atau elit disana. Semua sekolah memiliki kualitas yang relatif sama. Dan untuk menjadi tenaga pendidik disana juga mesyaratkan masa belajar yang cukup lama dan berkualitas.
5. Pola pikir kolaborasi.
Salah satu poin plus disana adalah guru –guru yang menggunakan pendekatan abundance oriented (berorientasi pada kelimpahan), dimana ada ruang bagi tiap individu untuk tumbuh dan saling membantu.
Acapkali salah satu guru di sana akan masuk ke kelas lain, membantu apa yang diperlukan, dan baru keluar bila kelas selesai.
Hal ini sudah menjadi pemandangan yang lazim disana. Imbasnya, disana tidak ada senioritas antara guru. Yang ada hanya iklim untuk saling membantu dan berkolaborasi
Pertanyaannya, bisakah hal-hal diatas diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia?
Sayangnya, menurut asumsi penulis buku ini, tidak bisa. Lain ladang lain belalang.
Iklim dan kondisi sosial antara masyarakat Finlandia dan Indonesia tentu berbeda jauh.
Namun, dengan menerapkan beberapa tips-tips mengajar di buku ini yang relevan dijalankan di Indonesia, setidaknya, kita bisa mengajar mendekati Finlandia.