Perjalanan pergerakan mahasiswa dinegara ini patut untuk kita soroti bersama, kenapa bisa begitu? Tak dapat dipungkiri bahwasannya peranan mahasiswa tak lepas dari dinamika negeri ini yang teramat kencang deras lika-likunya.Â
Layaknya aktor film, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan sebagai penengah disetiap langkah-langkah pegambilan kebijakan pemeritah, dari yang opsional hingga kontroversional, apalagi kala itu ketidakstabilan masyarakat Indonesia yang sangat terasa kondisinya.
    Sehubung munculnya berbagai gejolak di tanah air, seorang mahasiswa dari STI yang sekarang kita kenal dengan nama UII (Universitas Islam Indonesia) mewujudkan sebuah wadah bagi mahasiswa yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan diprakarsai oleh Lafran Pane dengan 14 orang temannya pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta.Â
Bagaimana kala itu keprihatinannya terhadap mahasiswa mengenai ajaran-ajaran islam dan keinginannya untuk mempertinggi derajat rakyat Indonesia, dengan kronologi-kronologi yang menyelimuti keresehan banyak umat, terpikir perlunya gebrakan-gebrakan baru yang sangat dibutuhkan untuk menyikapi dari situasi yang terjadi.
    Meruntut setelah lahirnya HMI, berbagai perubahan-perubahan terjadi seakan menerobos diruang pelarian waktu, karena pada dasarnya HMI ini terlahir untuk menumbuhkan semangat juang para mahasiswa dan mewadahi atas keresahan yang terbenak pada mahasiswa yang belum memiliki wadah untuk menyampaikan segala pemikiran dan aspirasi dari sengitnya perlawanan agresi militer Belanda satu sebelumnya, akan tetapi kondisi tersebut berbeda ketika pemahaman yang dibawa oleh presiden Soekarno (1959-1966) mulai dipublikasikan dan diterapkan di pemerintahan, mengapa? Karena kondisi pada masa itu mengalami berbagai fase memprihatinkan dan mencekam akibat pemikiran yang diimplementasikan Presiden Soekarno, yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom).
    Lontaran Bung Karno terhadap para pemuda bangsa pun menjadi boomerang kepada  dirinya sendiri "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri", pesan Bung Karno tersebut seraya ludahan yang ditelan kembali, bagaimana kekeliruan beliau mencampuradukan nilai-nilai Pancasila bisa selaras dengan konsep Nasakom milik dirinya, karena pada dasarnya beliau memaksakan kehendak untuk menyatukan air pada minyak, tak mungkin  bersinergi untuk menyatu dan menjadi satu kesatuan karena hal tersebut mustahil dan sia-sia.
     Kaum agamawan terlebih lagi umat muslim terkurung akibat ide-ide pemikiran tersebut, bahkan pemahaman idelogi tersebut "Nasakom" dipaksakan untuk diterima di semua lapisan kalangan masyarakat, apalagi komunis waktu itu sedang bangkit dari tidurnya setelah konfrontasi kala dipimpin Musso ditahun 48 yang melakukan pembelotan dan kontra dengan revolusioner Soekarno.Â
Berakhirnya pemilihan umum yang memposisikan PKI masuk dalam 4 partai besar yang memenangkan pemilu tahun 1955 setelah PNI, Masyumi dan NU. Kapasitas PKI kemudian menjadi sebuah peringatan, ternyata ungkapan buah jatuh tak jauh dari pohonnya pun benar adanya, momok mengerikanpun akhirnya menampakkan wujudnya.Â
Bagi orang-orang yang tak terafliasi ormas apapun, kejadian tersebut juga mengimbas bagi mereka, karena bagaimanapun isu-isu yang berlangsung kala itu, kalau orang hari ini menyebutnya informasi hoax, salah satu jalur yang mudah untuk disusupi doktrin-doktrin propaganda. Segala hal yang telah diprediksi sebelumnya akhirnya terjawab sudah, konflik antar ideologi menimbulkan permasalahan berkelanjutan hingga kontak fisik tak dapat terelakan, baik dalam ranah politik  sampai turun pada masyarakat.
    Legalisasi PKI di kalangan masyarakat menjadi prahara, munculnya PKI terkesan mengabaikan kesejahteraan masyarakat saat itu, bak hidup ataupun mati sama saja, sehingga menimbulkan kegaduhan dan menimbulkan kemarahan yang tidak beralasan.Â
Lebih lanjut, rekam jejak PKI yang buruk menjadi salah satu alasan masyarakat selalu curiga terhadap tindakan partai sayap kiri tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa PKI, bersama CGMI, Lekra, Pemoeda Rakyat, dan pendukung PKI lainnya, menciptakan ketegangan dengan gerakan bawah tanahnya.
    Terlebih lagi presiden Soekarno turut  condong untuk mendukung PKI, yang bagi HMI merupakan musuh besarnya.Â
Bahkan, desas-desus pembubaran HMI diangkat ke tingkat nasional. Lantas sayap-sayap PKI terus-menerus menggempur zona-zona sentral HMI, gerbong-gerbong PKI dengan kaki tangannya CGMI memanipulasi agar HMI dikeluarkan dari angggota Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Islam (PPMI), Â ditahun 1964 HMI diskors dari keanggotan PPMII, dan turun sampai Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI), Keekstrimen CGMI untuk menutup akses pintu-pintu organisasi intra kampus-kampus di Indonesia semakin menggila, HMI juga difitnah yang bukan-bukan tentang anak kandung Masyumi, Islam radikal, dan kontra revolusioner. Â
    HMI seolah terbelenggu, kenapa bisa dikatakan terbelenggu? Karena organisasi-organisasi seperti Masyumi, GPII, PII porak-poranda akibat keberingasan dari PKI. Posisi HMI ibarat menengok kebelakang akan ditikam pedang, jika menatap ke arah depan ditodong senapan, terkurung di berbagai lini kehidupan. Pergolakan tak dapat dihindarkan lagi, rentetan propaganda pun cepat disebar luaskan.Â
Mahasiswa yang menganut paham kiri sampai rakyat yang beridelogi kiri saling bahu-membahu mencoba mempersekusi HMI. Vandalis, sarkas hingga aksi-aksi turun jalanan seolah makanan sehari-hari bagi HMI.
    Puncaknya skenario pengganyangan HMI diutarakan dikongres ke-3 CGMI di Istora Senayan, Jakarta. Aidit sebagai ketua politbiro politik PKI berpidato secara provokatif "Kalau kalian kader CGMI tidak bisa membubarkan HMI, kalian pakai sarung saja" sontak Istora bergemuruh dengan sorak-sorai "Bubarkan HMI". N
amun Aidit seakan lupa bahwasannya HMI bukanlah anak kemarin sore, sebelum Aidit mengekpresikan statment pidatonya, HMI telah mencuri start awal dengan PB HMI membuka jalan ke istana, membangun komunikasi politik untuk memberikan informasi banding atas tuduhan PKI terhadap HMI, diikuti dengan gabungan organisasi muslim seperti pelajar (PII) dan pemuda (GEMUIS) dibawah satu komando ketua GP Ansor bapak Yusuf Hayim "Langkahi mayatku jika ingin bubarkan HMI".Â
Semangat itu seolah membakar seluruh lapisan elemen  masyarakat muslim yang marah akibat kebiadaban yang dilakukan PKI.
    Kejadian-kejadian dibalik layarpun tak diketahui oleh partai sayap kiri ini, mana mungkin partai besar halnya PKI ini linglung tak tau-menahu gerakan  yang hanya dibangun organisasi lingkup mahasiswa seperti HMI ini,  ditambah setelah Bung Karno berpidato dikegiatan kongres CGMI tersebut, dalam penggalan pidatonya "Jika HMI kontra revolusioner, maka HMI akan saya bubarkan, akan tetapi jika CGMI kontra revolusioner maka akan saya bubarkan pula".Â
Para petinggi, anggota, dan simpatisan yang hadir di senayan kala itu terdiam seribu bahasa, PKI pun tak habis pikir apa yang dimaksudkan Bung Karno ketika berpidato seperti itu.
    Pupus sudah Nasib PKI, menyusul peristiwa Gerakan 30 September (G30S\GESTAPU) yang dimotori oleh PKI. Celah tersebut mengungkapkan fakta bahwasannya siapa yang kontra dengan revolusioner dan Soekarno.Â
Tak cukup lama HMI, pasukan Angkatan darat, dan Resimen Pasukan Khusus Angkatan darat (RPKAD yang kita kenal sekarang Kopasus) Â sebelumnya telah menjalin hubungan di jauh-jauh hari, segera gembong PKI layaknya Aidit, Semaun, Alimin dan seluruh underbow-underbownya dibabat habis, akhirnya PKI dan segenap kaki tangannya membubarkan diri dan tak menyisakan cerita apapun.
 Di sisi lain, fakta sejarah menunjukkan HMI yang selamat dari jegalan musuh-musuhnya justru membawa ke gerbang kemenangan. Meskipun mengalami pasang surut. Namun, HMI tetap berperan aktif sebagai organisasi kemahasiswaan yang turut andil mencurahkan ide-ide pembaharuannya dan ikut berkontribusi dalam menjaga kestabilitasan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H