Pernah dengar soal tipe belajar manusia? Dikatakan bahwa tipe belajar manusia terbagi menjadi tiga, visual, auditori dan kinestetik. Secara singkat bisa dijelaskan bahwa orang bisa belajar lebih cepat dengan cara melihat, mendengar atau bersentuhan. Bersentuhan bisa diartikan dengan praktik langsung. Dan menurut istri saya, tipe belajar ini juga bisa dijadikan landasan untuk memberikan kasih sayang.
Saya ingat betul ketika saya pertama kali dekat dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya. Ada pertanyaan yang membingungkan saya, “Kamu anak visual, hearing atau kinestetik?”
Okeh pertanyaan ini awam buat saya dan sangat membingungkan. Karena bingung, istri saya kemudian bertanya kembali, “Kalau kepingin beli mobil, mobil seperti apa yang akan dicari? Apakah yang tampilannya bagus dulu, yang kata orang lain bagus atau yang menurutmu enak digunakan?”
Saya langsung bilang, “Tentu saja yang enak digunakan, enggak peduli apa kata orang. Biar bodinya jelek, bentuknya kampungan, selama enak dipakai dan nyaman, itu yang saya beli.”
Begitu saya jawab, istri saya sontak mengatakan “Berarti kamu orang kinestetik.”
Menurutnya, gambarannya seperti ini, orang visual cenderung lebih menuruti mata dibandingkan yang lain. Selama tampilan dan bentuknya enak dilihat, maka poin-poin lain menjadi tidak penting. Selama dia suka dan enak dipandang, maka dia cinta mati dengan barang tersebut.
Lain lagi dengan orang auditori, cenderung lebih senang mendengarkan apa kata orang. Tapi ingat, bukan berarti orang dengan tipe ini adalah orang yang mudah ikut apa kata orang. Tapi orang dengan tipe ini cenderung memperhatikan apa kata orang. Bisa dibilang orang dengan tipe ini lebih senang dipuji.
Yang terakhir, tentang tipe kinestetik, orang dengan tipe ini adalah orang yang senang sekali dengan sentuhan. Sentuhan membuatnya nyaman. Ingat dengan lagu Titi Kamal yang berjudul Jablai? Bisa dipastikan tokoh utama yang diceritakan pada lagu tersebut adalah orang dengan tipe kinestetik. Karena orang tersebut sangat protes ketika dia tidak diberikan sentuhan.
Kenapa pada awal dekat dulu istri saya membicarakan masalah ini? Karena menurutnya sudut pandang kasih sayang untuk setiap tipe ini berbeda-beda. Secara singkat berdasarkan penjelasan di atas, orang visual sangat senang dengan yang tampak, orang auditori sangat senang dipuji, dan orang kinestetik sangat senang dengan sentuhan.
Bayangkan jika orang visual menjalin hubungan dengan orang kinestetik. Si visual menganggap bahwa kasih sayang cukup diberikan dengan memberikan barang-barang yang tampak cantik dan memesona. Sementara menurut si kinestetik, barang-barang tersebut sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan sentuhan dan pelukan.
Jadi jika si visual hanya memberikan barang-barang cantik pada si kinestetik, maka si kinestetik tidak menganggap si visual cukup memberikan kasih sayang. Begitu juga sebaliknya jika si kinestetik hanya memberikan sentuhan dan pelukan saja pada si visual, lama-lama bosan dan jika terus berlanjut tanpa memberikan benda-benda cantik, si visual akan menganggap si kinestetik tidak sayang.
Hal yang sama juga berlaku jika salah satu dari tiga tipe menjalin kasih dengan tipe yang lain. Punya tantangan tersendiri dan hubungan hanya bisa berlanjut jika saling memberi pengertian.
Berdasarkan pengalaman kami tersebut, kami menjadi yakin bahwa dalam memberikan kasih sayang untuk buah hati juga bisa dengan tipe belajar tersebut. Kami yakin ketika kami cukup memberikan kasih sayang untuk buah hati, maka karakter si buah hati kelak akan menjadi sangat baik. Harapannya sih sederhana, dengan memberikan kasih sayang yang “cukup” maka kami sebagai orangtua akan mendapatkan hormat dari si buah hati. Dengan “hormat” yang cukup, akan membuat tuntutan dan tuntunan kami sebagai orangtua akan lebih mudah didengar.
Banyak sekali contoh salah kasih sayang yang diberikan orangtua yang berdampak sangat buruk untuk mental si anak. Contoh paling sederhana yang dipertontonkan sinetron-sinetron kita tentang anak durhaka. Ketika si orangtua tidak sanggup membelikan barang yang diinginkan si anak, lantas si anak langsung menghardik orangtuanya. Kata-katanya begitu kasar dan sadis didengar.
Dari sini mungkin bisa ditelaah, MUNGKIN dulu waktu kecil, si orangtua menganggap kebahagiaan si anak adalah dengan memberikan segala yang diinginkan. Ketika pola tersebut terus berlangsung, maka dalam pola pikir si anak akan terbentuk bahwa sebuah KEWAJIBAN bagi orangtua untuk memberikan barang yang diinginkan si anak. Hingga ketika si orangtua tidak sanggup untuk memberikannya, maka itu adalah sebuah kesalahan besar.
Mungkin terlihat lebay ya untuk kasus yang diambil dari sinetron. Tapi ada loh anak-anak yang menganggap bahwa KEWAJIBAN orangtua adalah memenuhi SEGALA kebutuhan dirinya.
Contoh lain dari masalah kasih sayang adalah kasus anak mencari kasih sayang di tempat lain. Seperti dijelaskan di atas, kasih sayang tergantung dari tipe belajar si anak. Misal anak visual yang tumbuh tanpa pengawasan dan pemahaman dari orangtuanya, ketika dia melihat kawannya merokok dan menganggap kegiatan tersebut adalah hal yang KEREN.
Maka bisa saja besok si anak akan perlente memegang batang rokok. Belum lagi hal-hal yang dianggap KEREN lainnya yang ternyata negatif. Si anak kemudian merasa mendapatkan kasih sayang dari lingkungan gaul yang tanpa arah. MUNGKIN maraknya kejadian PACARAN usia belia karena mereka mendapatkan kasih sayang yang lain dibandingkan kasih sayang orangtuanya.
Mengerikan ya?
Menurut saya pribadi, menyiapkan generasi masa depan Indonesia adalah menyiapkan mental para orangtua terlebih dahulu. Bagi para orangtua yang sudah membuka diri, bisa ikuti fanpage atau group dari Ayah Edy atau Risman Family untuk belajar. Nah, yang repot itu bagi orangtua yang tidak mau membuka diri. Yang masih yakin kalau keras terhadap anak adalah cara terbaik mendidik anak.
Yang masih yakin memberikan segala yang anak minta adalah cara terbaik mendidik anak. Ini pusing juga merubah polanya. Mungkin kalau orangtuanya sulit dirubah, semoga saja guru dan teman-temannya bisa meyakinkan bahwa orangtuanya sayang padanya walaupun sering memukul dan lain sebagainya. Hingga mental si anak juga menjadi baik.
Ingat loh, generasi penerus Indonesia itu bukan hanya anak-anak yang punya orangtua yang perlu disiapkan mentalnya. Tapi juga mereka-mereka yang sudah yatim piatu juga adalah anak-anak penerus Indonesia. Semoga semakin banyak orang-orang dewasa yang datang ke panti asuhan memberikan barang-barang yang sedap dipandang, memberikan ceramah atau cerita atau ucapan-ucapan yang menyenangkan, dan memberikan pelukan. Semoga kita semua segera dimampukan untuk memberikan tiga hal tersebut. Saya sih sekarang masih belum sanggup. Lihat anak demam sehabis imunisasi saja rasanya panik bukan main.
Pesan memiliki anak adalah menentukan generasi penerus juga harus disampaikan pada para jomblo. Bukan hanya gengsi karena belum berpasangan lantas membabibuta mencari pasangan. Saya ingat pada saat resepsi pernikahan, kawan saya berkata “welcome to the real world!” Sekarang saya mengerti maksud ucapan kawan saya tersebut. Menikah bukan hanya harus menang terhadap diri sendiri (mengalahkan ego, berdamai dengan diri dan lain-lain). Tapi juga perlu menyiapkan diri dan memantaskan diri untuk menjadi orangtua.
Bagi yang memutuskan untuk tidak menikah juga tidak salah. Itu pilihan pribadi. Toh selama tidak merugikan orang lain jadi tidak masalah. Jangan diganggu juga pilihan hidupnya. Mereka pasti punya alasan tersendiri yang seringkali sulit diterima orang lain. Yang paling pantas untuk recok itu ya orangtuanya yang kepingin momong cucu dan punya penerus. Selain orangtua, rasanya tidak pantas untuk mengganggu pilihan orang lain.
Ada dua agama yang saya ketahui sangat peduli terhadap kehidupan orangtua dan anak. Yang pertama saya tahu dari sahabat saya yang Katolik. Sebelum menikah, sahabat saya itu wajib untuk ikut kuliah yang khusus membahas soal persiapan menikah. Durasi kuliah agamanya pun tidak main-main. Harus ikut berbulan-bulan dengan sistem penilaian yang ketat. Kalau tidak lulus, ya tidak bisa mendapat berkat dari gereja. Baru setelah lulus diperbolehkan. Dan ini harus diikuti baik si calon mempelai pria dan mempelai wanita. Cakep kan?
Yang satu lagi agama yang saya tau sangat peduli terhadap kehidupan orangtua dan anak tentu agama yang saya anut, Islam. Cari saja di google dengan keyword “hak anak dalam Islam”, pasti keluar banyak sekali tulisan-tulisan yang berkaitan dengan itu. Karena memang topik tersebut dibahas khusus pada kuliah Agama Islam di perguruan tinggi sebagai kuliah wajib. Dari mulai hak ekonomi, hak pendidikan, hak kesehatan hingga hak kasih sayang.
Mengenai hak kasih sayang, istri saya mengingatkan untuk memberi nama yang baik dan sedap dipanggil. Karena hal tersebut adalah bagian dari memberikan kasih sayang. Terlebih bagi anak auditori. Memberikan yang baik-baik (termasuk benda yang baik) akan menjadi bernilai jika ternyata si anak adalah anak visual. Terakhir tentu harus lembut bersikap saat bersentuhan dengan anak (beri pelukan dan ciuman) ini baik jika anak merupakan anak kinestetik. Tiga komponen ini adalah hak anak dalam Islam. Praktiknya? Tentu tergantung dari kemampuan si orangtua.
Bagaimana agama yang lain? Saya percaya ada, tapi ilmu dan pengetahuan saya terbatas.
Dengan tulisan ini semoga kita (khususnya saya) semakin sadar, bahwa mendidik anak sebenarnya menyiapkan generasi. Anggap saja tulisan ini adalah bagian dari upaya saya berbagi yang saya ketahui dalam mendidik anak. Tulisan di atas mungkin bisa saja salah. Karena manusia selalu berkembang psikologisnya, mengikuti zaman.
Semoga bermanfaat.
Sumber bacaan :
mengenal tipe belajar anak
membangun kualitas reproduksi dan mental remaja Indonesia
belajar dari karin "awkarin" novilda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H