Tak bersuara, tetapi berteriak di antara pikiran rumit. Meluruskan benang kusut yang sulit terurai. Mencoba menahan perihnya ikatan benang tipis, sangat tipis sehingga melukai. Bukan salah benang, namun diri ini yang telah membuatnya bersatu dan menjerat.
      Sudah cukup? Belum, diri ini belum puas dengan apa yang ada saat ini. Semakin memberontak, benang ini semakin menjerat. Aku hanya bisa pasrah tanpa tahu apa yang akan terjadi esok hari, diri ini akan berdarah-darah dan lebur atau berbekas dan seumur hidup menahan luka.
      Lalu apa lagi selain menahan jeratan benang? Aku hanya bisa membayangkan leluasanya kehidupan tanpa dijerat. Tak bisa apa-apa, diam hanya menghabiskan waktu dan bergerak membuatku semakin terjerat.
      Aku harus apa? Tidak ada yang peduli, mereka juga terjerat dengan benang yang sama namun dengan jenis berbeda. Kami saling memandang dan seolah meminta tolong, namun kita hanya bisa diam. Dia terlihat lebih menyakitkan dengan benang nylon yang melilit tubuhnya. Baginya, mungkin itu tak seberapa. Dia sudah terbiasa dengan jeratan pedih dari nylon.
      "Apakah kau baik-baik saja?" Bertanya dengan keadaan menyakitkan, tetapi masih bisa tersenyum? Aku tersenyum miris dan membalasnya "Baik sekali, bagaimana denganmu sobat?"
      Lagi-lagi dia tersenyum, memperlihatkan kerutan pada matanya, tanda senyum ikhlas. Aku terdiam, benang yang menjeratnya sangat menyakitkan. Namun masih bisa tersenyum dengan tulus. Aku berusaha tegar di hadapannya, benang yang menjeratku tak ada apa-apanya dengannya.
      Tak bisa dibohongi, dia selalu menangis dalam diam. Matanya telah berbicara padaku, aku terdiam dan mengutuk diri. Bodoh, kau sangat bodoh menangisi jeratan seperti ini. Bukankah tandanya lemah jika aku menangisi benang ini? Mencoba menahan dan memandangnya, berharap jika dia bertahan dengan benang nylon-nya.
      Seperti biasa, aku menemaninya menuju perpustakaan "Bagaimana kalau setelah ini kita makan es krim?"
      Dia tertawa ringan "Boleh saja."
      Dia lelaki tegar, stigma telah menghancurkannya. Dia berusaha menahan untuk tidak mengeluarkan air mata, mencoba tetap baik-baik saja. Hanya matanya yang berbicara kepadaku bahwa dia lelah. Aku lagi-lagi terdiam dan mengikutinya dari belakang.
      Lelaki kutu buku yang cerdas, tetapi lebih cerdas cara ia menutup lukanya. Dia mengambil tiga buku dan memberikan kepadaku satu,"Baca ini, aku jamin kau suka."
      Aku menerima buku itu,"Baik, terima kasih," lalu mencari sudut perpustakaan untuk duduk.
      Mencari Sumber Cahaya, judul buku yang dia beri. Aku membuka lembaran awal, mencoba tenang dan menyelami makna setiap kata. Bab satu menceritakan seorang anak dengan kecerdasan di atas rata-rata yang selalu mendapat kebahagian dan keberkahan dalam hidupnya. Hidup yang didambakan semua orang, cerdas dan kekayaan adalah senjata yang ampuh untuk mendapatkan tujuan dan tak terlepas dari doa. Kesempurnaan adalah dambaan semua orang, begitu pula kebahagiaan yang tak ada habisnya. Namun, semua orang lupa, tak ada kesempurnaan dan hidup seperti roda, kadang di atas atau di bawah.
      Bab lima, kehidupan sempurna anak itu mulai goyah. Masalah ekonomi keluarganya mengakibatkan keretakan. Ayahnya pergi dengan perempuan lain sedangkan Ibunya memilih menginggalkannya pula. Dia shock, baru pertama kali dirinya mengalami hal buruk seperti ini. Mencoba tegar, dia berusaha memanfaatkan kecerdasannya untuk bertahan hidup. Mencoba bekerja dan mengajar, hasil yang ia dapat hanya cukup untuk kehidupan primernya.Â
Sebenarnya, dia sangat menginginkan tablet untuk keperluan hobinya. Sudah lama ia ingin mengasah hobi gambarnya dengan tablet, uang yang dulu ia kumpulkan dibawa lari oleh orang tuanya. Sedih, tetapi dia berpikir bahwa orang tuanya sangat membutuhkan uang itu.
      Bab tujuh sangat menguras emosi. Dia di sini mencoba bertahan hidup dengan menjadi pengajar tetap teman yang sangat membencinya. Upahnya lumayan, dia dapat menyisihkan separuhnya untuk tablet impiannya. Namun, temannya selalu berusaha untuk menjatuhkan harga dirinya untuk merebut juara umum di sekolah. Salah satu alasan temannya sangat membencinya, si tokoh selalu juara umum dan tak pernah terkalahkan, bidang akademis maupun non akademis selalu cemerlang.
Temannya selalu berusaha mengalahkannya namun gagal, dia selalu berada pada peringkat dua setelah si tokoh. Akhirnya, si teman tokoh meraih juara umum dengan menyebar rumor yang menyebabkan si tokoh terganggu mentalnya dan merasa putus asa. Si tokoh berfikir bahwa kecerdasan dan kedudukan peringkat adalah aset satu-satunya yang ia miliki.
      Saat selesai menerima rapor dan mendapat wejangan, si tokoh memutuskan untuk pulang. Rumah yang dulu tampaknya cerah kini terlihat kusam dan hampa. Dia berjalan menuju kamarnya sembari mengggenggam sebuah tali tambang.
      Dia pikir mengakhiri hidup adalah solusi dari semua yang terjadi. Tali telah dipersiapkan, dia sudah berdiri di atas kursi dan mengalungkan lehernya dengan tali. Si tokoh menghela napas, mencoba tenang dan tersenyum. Dia berhitung, hingga ....
      "Sudah sore, ayo pulang. Kau ingin es krim kan?"
      Aku terkejut refleks menutup buku "Ide bagus, tetapi aku belum menyelesaikan buku ini."
      "Hafalkan judulnya, kau bisa kembali kesini lagi kan? Lagian kau tak bisa meminjam tanpa kartu."
      Aku mengangguk dan mengembalikan buku kepadanya. Kami berdua pergi meninggalkan perpustakaan menuju kedai es krim.
      Kami memesan dua sekop es krim stroberi. Kesukaan kami. Aku dan dirinya telah saling mengenal satu sama lain, tetapi aku tak tahu latar belakangnya. Hal yang aku tahu hanya dia dan kenangan yang kita buat. Persahabatan telah menghubungkan kami. Bukan, lebih tepatnya kami terhubung oleh ketidaksengajaan memesan dua sekop eskrim secara bersamaan.
      Waktu itu, ketika matahari sedang teriknya.
      "Kak, eskrim cokelat dua sekop," ujar kami berbarengan lalu saling memandang dan tertawa ringan.
      "Perkenalkan aku Penta," katanya sembari duduk di hadapanku
      "Aku Gia. Lucu juga namamu, lima kan artinya?" ujarku tertawa
      Dia mengangguk dan tersenyum lalu menyendokkan eskrim ke mulutnya. Awal mula persahabatan yang manis. Kami sering berkirim pesan, dia selalu bercerita bahwa ia sedang sedih, tetapi tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kadang dia mencoba menangis di hadapanku dengan menahan kokoh sosok tegarnya. Sudah ribuan kali aku memaksa untuk mengeluarkan emosinya kepadaku.
      Ternyata dia tumbuh dengan stigma bahwa lelaki harus kuat dan tidak menangis di hadapan orang. Kebiasaan itu yang membuatnya menahan perasaan dan emosinya.
      "Gia!" kata Penta menggoyangkan tanganku
      "Ah iya, ada apa?"
      "Melamunkan apa?"
      Aku tersenyum lalu menggeleng "Rasa es krim ini tak pernah berubah ya?"
      Penta tersenyum dan mengangguk "Awal yang manis," dia mengaduk cup es krimnya "Gia, aku dapat beasiswa."
      Tentunya aku terkejut "KEREN, SELAMAT PENTA!" Ujarku seraya menggenggam kedua tangan Penta,"Aku bangga sekali dengamu, apapun itu akan kudukung!"
      "Di luar negeri."
      Aku terdiam berusaha mencerna kata-kata Penta "Luar negeri?"
      "Aku tahu berat sekali kelihatannya, tetapi ini kesempatan aku untuk bertahan hidup," Penta menggenggam tanganku lebih erat "Setelah tujuanku selesai, aku segera kembali dan bertemu denganmu di sini,"
      Aku menahan tangis "Sebentar bukan? Tidak pergi selamanya?"
      Penta mengangguk dan tersenyum.
-
      Akhirnya Penta melaksanakan studinya ke luar negeri. Kami hanya dapat berkirim kabar, kadang sesekali berkirim barang. Dua hari yang lalu aku mengirimkan bubuk es krim dari kedai yang sering kami kunjungi, agar Penta tidak lupa kenangan manis itu.
Mengingat kedai eskrim, sudah lama aku tak berkunjung ke perpustakaan. Terakhir kali saat Penta memberitahuku akan kepergiannya. Hampir tiga tahun lamanya, aku memutuskan untuk mengunjunginya kembali. Alasan utamaku kembali adalah menyelesaikan novel yang Penta rekomendasikan kepadaku. Aku hanya mengingat sedikit alurnya, terakhir ketika si tokoh mengalungkan tali itu.
"Maaf Pak, buku Mencari Sumber Cahaya di bagian mana ya?"
Petugas perpustakaan memberikan secarik kertas berisikan informasi buku.
Rak nomor tujuh larik empat, aku menemukannya. Melanjutkan ke bab delapan, si tokoh menghentikan tindakannya. Aku bernapas lega, membayangkan happy ending yang akan diceritakan penulis.
Si tokoh menghentikan perbuatannya ketika sebuah notifikasi membuyarkan pikiran negatifnya. Ternyata dari orang yang selama ini dia suka, si tokoh tersenyum dan membereskan tali tambang itu. Cerita berakhir lega, aku bersyukur atas keputusan sang tokoh. Ketika aku membuka halaman selanjutnya, aku menemukan pembatas halaman 'Pentara Sagara'
"Milik Penta?" gumamku
Namun, tiba-tiba aku tersadar bahwa nama Penta di bawah judul novel itu. Itu novel karya Penta, aku tak menyadari sama sekali sedari awal. Mungkin ini alasan Penta menunjukkan novel ini kepadaku, namun aku tak sadar dengan tujuannya.
Aku segera menghubungi Penta "Ini karyamu?"
Tanpa dijelaskan panjang lebar, Penta tertawa ringan "Baru sadar?"
"Maaf, aku terlalu mendalami kisahnya. Ini hasil imajinasimu?"
Dari seberang Penta terdiam "Penta?" Ujarku membuyarkan lamunannya.
"Kisah nyata," katanya, kami berdua terdiam sebentar.
Aku berusaha mencairkan suasana "Ini yang membuatmu sedih? Hal-hal yang disembunyikan dariku, seharusnya kau menceritakan langsung padaku. Aku tak tahu rasanya jika berada di posisimu, tetapi aku tetap akan menemanimu kapan pun."
"Aku sahabatmu kan?" tambahku, Penta berdehem "It's okay kamu menangis, menumpahkan semua yang terpendam. Aku tidak keberatan mendengarkan semua kisahmu, paham?"
"Terima kasih, Gia. Aku tak bisa bercerita secara langsung, lewat novel lah aku bercerita. Lebih leluasa aku menceritakan tanpa menangis di hadapanmu,"
Aku merasakan lilitan benangku terputus, euforia muncul bergitu saja "Tunggu aku di bandara,"
"Maksudmu?" tanya Penta
"Aku akan bertemu dirimu dan menikmati es krim stroberi kesukaan kita,"
"Bukankah kita telah berencana untuk bertemu di kedai es krim itu?"
"Aku merasa terlalu lama menunggumu, bersiaplah aku akan datang. Jaga kesehatanmu, Penta Sagara."
Mungkin sekarang Penta tersenyum "Kutunggu kehadiranmu. Jaga kesehatan juga, Gia Illana."
Kami menghentikan telepon. Aku kembali membaca novel, tak disangka telah mencapai bab terakhir. Penta menceritakan tentang diriku, dengan samaran Belle. Orang yang menjadi sumber cahaya bagi dirinya adalah diriku, aku tak menyangka. Keseharian kami tertulis di sini, kisah ketika aku memberikan sekotak cokelat kepada Penta saat hari kelahirannya. Ternyata kotak cokelat itu dijadikan tempat kertas penyemangat yang selalu kuberi. Kertas penyemangat dari sticky notes yang selalu kuberi ketika bertemu di kedai es krim.
Tempat bertemu kami adalah kedai es krim dekat perpustakaan. Setiap hari kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu dan menikmati es krim stroberi. Bertukar kisah dan saling membantu, terkadang pula kami belajar bersama.
Mengingat itu semua, rasanya ingin kembali ke masa itu. Ah, sudahlah. Sudah cukup bagiku untuk mengingat semua itu, aku harus kembali ke rumah dan mengerjakan tugas dari dosen. Selanjutnya menyiapkan diri untuk terbang ke Jerman.
Aku berharap lilitan benang nylon Penta satu persatu lepas, aku menjamin hal itu terjadi.
Note : Benang ibarat masalah. Semakin berusaha untuk keluar, mereka menjerat. Cara tepat untuk keluar adalah pelan-pelan melepas tanpa tergesa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H