Aku mengangguk dan mengembalikan buku kepadanya. Kami berdua pergi meninggalkan perpustakaan menuju kedai es krim.
      Kami memesan dua sekop es krim stroberi. Kesukaan kami. Aku dan dirinya telah saling mengenal satu sama lain, tetapi aku tak tahu latar belakangnya. Hal yang aku tahu hanya dia dan kenangan yang kita buat. Persahabatan telah menghubungkan kami. Bukan, lebih tepatnya kami terhubung oleh ketidaksengajaan memesan dua sekop eskrim secara bersamaan.
      Waktu itu, ketika matahari sedang teriknya.
      "Kak, eskrim cokelat dua sekop," ujar kami berbarengan lalu saling memandang dan tertawa ringan.
      "Perkenalkan aku Penta," katanya sembari duduk di hadapanku
      "Aku Gia. Lucu juga namamu, lima kan artinya?" ujarku tertawa
      Dia mengangguk dan tersenyum lalu menyendokkan eskrim ke mulutnya. Awal mula persahabatan yang manis. Kami sering berkirim pesan, dia selalu bercerita bahwa ia sedang sedih, tetapi tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kadang dia mencoba menangis di hadapanku dengan menahan kokoh sosok tegarnya. Sudah ribuan kali aku memaksa untuk mengeluarkan emosinya kepadaku.
      Ternyata dia tumbuh dengan stigma bahwa lelaki harus kuat dan tidak menangis di hadapan orang. Kebiasaan itu yang membuatnya menahan perasaan dan emosinya.
      "Gia!" kata Penta menggoyangkan tanganku
      "Ah iya, ada apa?"
      "Melamunkan apa?"