Oleh : Gede Yoga Satrya Wibawa, MH.Â
Dosen di Program Studi Hukum HinduÂ
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Tindak pidana korupsi seperti penyakit yang sudah akut bagi bangsa ini. Rezim pemerintahan sudah beberapa kali berganti semenjak agenda pemberantasan korupsi digalakkan pada awal reformasi 1998. Berbagai daya upaya telah dilakukan namun para pelaku tindak pidana korupsi seolah selalu menemukan cara untuk tetap beraksi dan menikmati gelimangan uang haram hasil korupsi ini. Beragam upaya dilakukan untuk dapat mempersempit ruang gerak para koruptor ini, mulai dari pemerintah pusat hingga daerah. Setidaknya bangsa Ini masih optimis dapat terbebas dari korupsi suatu saat nanti.
Perkembangan Pemberantasan tidak Pidana Korupsi di Indonesia diawali pada era reformasi bergulir, dimulai dengan memotong sentralisasi kekuasaan dengan masuk pada era otonomi daerah, dilakukan untuk memotong dinasti orde baru yang sudah membangun jaringan kekuasaan dari tingkat teratas hingga bagian terbawah dari republik ini. Reformasi birokrasi juga dilaksanakan untuk memotong alur birokrasi yang selama ini sangat berbelit dan merupakan wahana Tipikor yang nyaman bagi para oknum birokrat korup.Â
Lembaga pengawas dibentuk untuk dapat memberikan pagar bagi proses birokrasi agar tidak keluar rel. Ombudsman RI bekerja untuk mengawasi setiap alur birokrasi dan kebijakan tidak keluar dari tata cara yang diatur melalui Undang-Undang, BPK didorong untuk dapat memberikan filter terhadap penggunaan anggaran negara agar tak terjadi kebocoran lagi, hingga memberikan aksebilitas bagi masyarakat melalui LSM untuk terlibat dalam upaya menjaga reformasi ini tetap dalam koridor.
Dalam bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini dikawal oleh KPK, Kejaksaan dan Polri. para ksatria penegak hukum  ini bahu membahu untuk dapat mempercepat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ini dapat dilakukan. Walaupun dalam prakteknya beberapa kali ada juga oknum dari unsur penegak hukum ini terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan, terakhir penetapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang katanya dirancang untuk memperkuat KPK dalam melaksanakan tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK diharapkan dapat lebih independent dan merdeka tanpa tekanan pihak manapun.Â
Dalam Pasal 3 Undang-Undang KPK yang baru ini disebutkan jelas bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana korupsi yang terus dilakukan tampaknya tidak membuat oknum pejabat korup diluar sana jera. Deretan kasus yang berhasil membawa para koruptor mendekam di hotel prodeo pun nampaknya hanya dianggap angin lalu. Bukannya berkurang malah ada saja jalan dan cara yang dilakukan oleh oknum pejabat korup ini.Â
Terakhir di situasi bencana wabah penyakit pun dijadikan ladang korupsi juga, dimana bantuan untuk masyarakat yang seharusnya digunakan untuk percepatan penanganan Covid 19 disunat dan dibagi bagi oleh mereka yang seharusnya berkinerja untuk rakyat.
Seperti tak ada rasa takut dari pelaku tindak pidana korupsi ini terhadap ancaman pidana yang akan diterima. Belum lagi harta keluarga yang disita bagi terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi di pengadilan juga ternyata tidak memberikan rasa takut bagi oknum korup yang masih bebas. Sepertinya rasa malu untuk bertindak korup belum menjadi budaya di negeri ini.
Upaya pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang telah dilakukan ditanggapi kreatif dan inovatif oleh oknum pelaku, berbagai modus operandi terus dicoba dan dikembangkan seiring dengan ruang gerak para oknum pejabat korup yang kian dipersempit. Para oknum korup ini seperti tak kehabisan akal dan cara untuk dapat mengelabui sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dari paradigma itu dapat dilihat tantangan bagi pemerintah, baik pemerintah di pusat hingga didaerah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ini masih sangat berat. Pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan mampu dilaksanakan dari jenjang pemerintahan terbawah hingga tertinggi di Republik ini. Semangat anti korupsi tetap harus dikampanyekan untuk dapat segera membebaskan bangsa ini dari belenggu tindak pidana korupsi.
Bagi masyarakat Bali, tindak pidana korupsi merupakan aib. Hal ini diperlihatkan ketika para pejabat Bali baik di tingkat pusat maupun daerah, jika tersandung korupsi pasti menjadi bahan hujatan dan cemooh masyarakat. Keluarga terpidana selain harus rela kehilangan anggota keluarganya yang tersangkut tindak pidana korupsi karena harus mendekam di penjara juga harus menanggung beban moril dari hujatan masyarakat sekitar. Stigma keluarga koruptor pun otomatis melekat pada sanak famili si pelaku tindak pidana korupsi.
Selama ini masyarakat Bali hidup di tengah hegemoni nilai falsafah agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali. Ajaran luhur yang digali dari falsafah agama Hindu ini hidup dan berkembang turun temurun di masyarakat. Nilai kejujuran dengan dasar dharma (kebenaran) selalu ditekankan dalam kehidupan orang Bali. Sehingga jika ada yang melanggar nilai ini akan menjadi sebuah aib tersendiri bagi masyarakat Bali yang dikenal memegang teguh kaedah hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Jika dikaitkan dengan kondisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang dihadapi bangsa ini, sepertinya mendorong peran serta masyarakat adat di Bali dapat dijadikan pola pemberantasan korupsi alternatif. Dilihat dari kondisi masyarakat Bali yang memegang teguh adat istiadat, menghormati hukum adat dan selalu taat terhadap nilai nilai komunal masyarakat adat sepertinya bukan hal yang sulit untuk merancang sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi berbasis masyarakat adat di Bali.
Potensi Desa Adat di Bali sangatlah besar. Dengan kondisi memiliki 1495 Desa Adat yang tersebar di 9 kabupaten kota di Bali tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Sungguh potensi yang besar jika dapat dimanfaatkan untuk mengkampanyekan gerakan anti korupsi dari tingkat terbawah. Desa adat dibali disatukan dengan organisasi bernama Majelis Desa Adat (MDA) sebagai wujud kesamaan persepsi dalam menjaga eksistensi komunitas adat di Bali (pasikian).
Pada tatanan masyarakat adat Bali, hidup dan berkembang suatu sistem hukum adat yang biasanya tertuang dalam awig-awig / Perarem. Sebagai instrumen hukum adat di Bali, setiap masyarakat adat dalam hal ini Desa Adat memiliki berbagai ketentuan hukum adat yang terkompilasi dalam bentuk Awig/perarem. Awig atau perarem ini dibuat dan disepakati masyarakat/Krama adat untuk dapat dilaksanakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.Â
Awig-awig / Perarem ini selain dipakai sebagai pagar dalam menjalankan kehidupan masyarakat juga dipandang sebagai sesuatu yang sakral, sehingga ketika melakukan suatu kesalahan yang dianggap melanggar awig/perarem masyarakat tidak hanya dijatuhi sanksi (dedosan) berupa denda materi (Artha danda) tapi juga ada kewajiban untuk melaksanakan sanksi (dedosan) berupa upacara tertentu (Dewa Danda) sebagai upaya pembersihan di wilayah (wawidangan) Desa tersebut, tak cukup sanksi tersebut juga ada sanksi sosial yang lebih berat yakni meminta maaf pada masyarakat/Krama adat (Jiwa Danda) sebagai wujud rasa penyesalan bagi si pelanggar aturan adat di Bali.
Selain wujud sanksi yang disebutkan tadi, ada juga sanksi yang lebih berat bagi pelaku pelanggaran aturan adat di Bali yaitu kasepekang. Kasepekang adalah sanksi yang diberikan, dimana si penerima sanksi akan dikucilkan, diasingkan atau diberhentikan untuk ikut di desa (Madesa). Pemberian sanksi ini otomatis melucuti segala hak dan kewajiban yang sebelumnya melekat pada Krama Desa, pelepasan hak yang otomatis juga diikuti dengan pelepasan hak atas pelayanan adat dan pelarangan penggunaan fasilitas adat.Â
Aksesibilitas dalam berkegiatan atau menggunakan setiap sarana dan prasarana adat dan juga larangan untuk menggunakan khayangan tiga (pura khayangan yang dikelola dan di pelihara oleh adat) serta fasiltas seoerti setra (kuburan). Sanksi yang sebetulnya hampir di banyak desa adat di Bali sudah dihapus karena tak relevan dengan perlindungan Hak Asasi Kemanusiaan. Namun dibeberapa desa adat masih diberlakukan untuk memelihara tradisi leluhur, dan dianggap sebagai sanksi yang dapat mengikat masyarakat agar tetap mematuhi hukum adatnya. Sebuah supremasi hukum adat yang absolut.
Menarik jika membahas masalah sanksi kasepekang ini dari perspektif tindak pidana korupsi. Jika banyak desa adat menolak untuk menghapus ketentuan sanksi kasepekang ini dalam sistem hukum adat mereka, maka bukan hal yang sulit jika ketentuan kasepekang ini bila diterapkan bagi Krama Desa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dengan konsekuensi yang harus ditanggung para pelaku untuk menerima sanksi ini dapat memberikan sanksi alternatif selain sanksi pidana yang harus dijalankan oleh pelaku tindak pidana korupsi.
Pengaturan awig awig dan perarem yang mengatur tentang pemberian sanksi kasepekang ini kepada Krama Desa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi diharapkan dapat memberikan efek jera yang maksimal bagi masyarakat adat Bali. Kondisi ini juga bisa menjadi rasa keadilan, jika selama ini terjadi pro dan kontra terhadap sanksi kasepekang di masyarakat maka sepertinya stigma yang melekat pada terpidana korupsi yang merupakan masyarakat hukum adat akan ditambah berat dengan adanya pelucutan hak dan kewajibannya di adat.
Masyarakat adat Bali yang memiliki fanatisme dan integritas yang tinggi terhadap adat istiadat yang dianutnya dapat dioptimalkan perannya dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Pemberian sanksi adat berupa sanksi kasepekang bisa menjadi solusi dan alternatif yang bisa memberikan efek jera pada masyarakat Bali khususnya, dan secara nasional mungkin dapat dirancang pola serupa dengan mengedepankan komunitas masyarakat adat (terutama pada wilayah yang masyarakat adatnya masih eksis) sebagai garda terdepan pencegahan tindak pidana korupsi
Melihat kondisi tersebut layak sepertinya untuk merekomendasikan pengaturan sanksi kasepekang ini untuk dapat di formulasikan dalam bingkai sistem hukum adat Bali. Majelis desa adat sebagai wadah (pasikian) Desa Adat bisa melakukan harmonisasi ketentuan pidana nasional ini untuk dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengaturan di tingkat terbawah. Mendorong upaya untuk pemberian sanksi kasepekang ini bagi Krama atau warga adat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi ini diharapkan mampu merubah pola pikir masyarakat yang lebih sadar terhadap hukum dan mampu berdampak positif terhadap semangat anti korupsi.
Bali, Malam Siwa Ratri (12 Januari 2021)
(Gede Yoga Satrya Wibawa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H