Seperti tak ada rasa takut dari pelaku tindak pidana korupsi ini terhadap ancaman pidana yang akan diterima. Belum lagi harta keluarga yang disita bagi terpidana yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi di pengadilan juga ternyata tidak memberikan rasa takut bagi oknum korup yang masih bebas. Sepertinya rasa malu untuk bertindak korup belum menjadi budaya di negeri ini.
Upaya pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang telah dilakukan ditanggapi kreatif dan inovatif oleh oknum pelaku, berbagai modus operandi terus dicoba dan dikembangkan seiring dengan ruang gerak para oknum pejabat korup yang kian dipersempit. Para oknum korup ini seperti tak kehabisan akal dan cara untuk dapat mengelabui sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dari paradigma itu dapat dilihat tantangan bagi pemerintah, baik pemerintah di pusat hingga didaerah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi ini masih sangat berat. Pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan mampu dilaksanakan dari jenjang pemerintahan terbawah hingga tertinggi di Republik ini. Semangat anti korupsi tetap harus dikampanyekan untuk dapat segera membebaskan bangsa ini dari belenggu tindak pidana korupsi.
Bagi masyarakat Bali, tindak pidana korupsi merupakan aib. Hal ini diperlihatkan ketika para pejabat Bali baik di tingkat pusat maupun daerah, jika tersandung korupsi pasti menjadi bahan hujatan dan cemooh masyarakat. Keluarga terpidana selain harus rela kehilangan anggota keluarganya yang tersangkut tindak pidana korupsi karena harus mendekam di penjara juga harus menanggung beban moril dari hujatan masyarakat sekitar. Stigma keluarga koruptor pun otomatis melekat pada sanak famili si pelaku tindak pidana korupsi.
Selama ini masyarakat Bali hidup di tengah hegemoni nilai falsafah agama Hindu yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bali. Ajaran luhur yang digali dari falsafah agama Hindu ini hidup dan berkembang turun temurun di masyarakat. Nilai kejujuran dengan dasar dharma (kebenaran) selalu ditekankan dalam kehidupan orang Bali. Sehingga jika ada yang melanggar nilai ini akan menjadi sebuah aib tersendiri bagi masyarakat Bali yang dikenal memegang teguh kaedah hukum adat dalam menjalani kehidupannya.
Jika dikaitkan dengan kondisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang sedang dihadapi bangsa ini, sepertinya mendorong peran serta masyarakat adat di Bali dapat dijadikan pola pemberantasan korupsi alternatif. Dilihat dari kondisi masyarakat Bali yang memegang teguh adat istiadat, menghormati hukum adat dan selalu taat terhadap nilai nilai komunal masyarakat adat sepertinya bukan hal yang sulit untuk merancang sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi berbasis masyarakat adat di Bali.
Potensi Desa Adat di Bali sangatlah besar. Dengan kondisi memiliki 1495 Desa Adat yang tersebar di 9 kabupaten kota di Bali tentu ini bukan jumlah yang sedikit. Sungguh potensi yang besar jika dapat dimanfaatkan untuk mengkampanyekan gerakan anti korupsi dari tingkat terbawah. Desa adat dibali disatukan dengan organisasi bernama Majelis Desa Adat (MDA) sebagai wujud kesamaan persepsi dalam menjaga eksistensi komunitas adat di Bali (pasikian).
Pada tatanan masyarakat adat Bali, hidup dan berkembang suatu sistem hukum adat yang biasanya tertuang dalam awig-awig / Perarem. Sebagai instrumen hukum adat di Bali, setiap masyarakat adat dalam hal ini Desa Adat memiliki berbagai ketentuan hukum adat yang terkompilasi dalam bentuk Awig/perarem. Awig atau perarem ini dibuat dan disepakati masyarakat/Krama adat untuk dapat dilaksanakan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.Â
Awig-awig / Perarem ini selain dipakai sebagai pagar dalam menjalankan kehidupan masyarakat juga dipandang sebagai sesuatu yang sakral, sehingga ketika melakukan suatu kesalahan yang dianggap melanggar awig/perarem masyarakat tidak hanya dijatuhi sanksi (dedosan) berupa denda materi (Artha danda) tapi juga ada kewajiban untuk melaksanakan sanksi (dedosan) berupa upacara tertentu (Dewa Danda) sebagai upaya pembersihan di wilayah (wawidangan) Desa tersebut, tak cukup sanksi tersebut juga ada sanksi sosial yang lebih berat yakni meminta maaf pada masyarakat/Krama adat (Jiwa Danda) sebagai wujud rasa penyesalan bagi si pelanggar aturan adat di Bali.
Selain wujud sanksi yang disebutkan tadi, ada juga sanksi yang lebih berat bagi pelaku pelanggaran aturan adat di Bali yaitu kasepekang. Kasepekang adalah sanksi yang diberikan, dimana si penerima sanksi akan dikucilkan, diasingkan atau diberhentikan untuk ikut di desa (Madesa). Pemberian sanksi ini otomatis melucuti segala hak dan kewajiban yang sebelumnya melekat pada Krama Desa, pelepasan hak yang otomatis juga diikuti dengan pelepasan hak atas pelayanan adat dan pelarangan penggunaan fasilitas adat.Â
Aksesibilitas dalam berkegiatan atau menggunakan setiap sarana dan prasarana adat dan juga larangan untuk menggunakan khayangan tiga (pura khayangan yang dikelola dan di pelihara oleh adat) serta fasiltas seoerti setra (kuburan). Sanksi yang sebetulnya hampir di banyak desa adat di Bali sudah dihapus karena tak relevan dengan perlindungan Hak Asasi Kemanusiaan. Namun dibeberapa desa adat masih diberlakukan untuk memelihara tradisi leluhur, dan dianggap sebagai sanksi yang dapat mengikat masyarakat agar tetap mematuhi hukum adatnya. Sebuah supremasi hukum adat yang absolut.