Alif sedang khusyuk menyetir. Melewati jalan yang telah banyak memahat kenangan. Kenangan masa sekolah dulu. Pergi-pulang berjalan kaki, baik hujan membuat gigil atau pun panas memangsa.
Ia pun senyum-senyum sendiri. Tapi bukan karena mengeja kenangan. Untung usahanya yang dua kali lipat dari target mampu menyingkirkan kenangan masa lalu di benaknya..
Tiba-tiba bunyi dering yang cukup nyaring membuyarkan lamunan. Ia mendadak ngerem. Mobil yang dikendari nyaris oleng. Karena dari layar Handphonenya terpapar suatu pemanggil yang cukup penting. Ia menepi---kali aja memberi untung dan harus balik lagi, pikirnya.
Ke bawah Pohon kerontang ia menjawab panggilan. Sambil bercakap-cakap dengan orang seberang, ia memandang jauh, pada hamparan sawah yang sekarat dan Kali yang tidak sebagaimana mestinya Kali atau memang titah masa kininya seperti itu.
Tapi apa? Orang penting tak selalu melahirkan hal penting. Setelah cukup lama bicara, ia memutus kontak, secara sepihak. Rupanya, hanya basa-basi semata. Meski mitra usaha lama, saat-saat sulit dulu selalu memotivasi, tapi yang ditawarkan tersirat maksud parasitisme belaka---merugikannya dan balik menguntungkan mitra.
Sesungguhnya dalam kesehariannya ia selalu sebagai pihak diuntungkan, bukan sebaliknya. Makanya mendengar itu cukup mengundang rasa geli, maksudnya mudah ditebak. Setelah menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum nyinyir perutnya mules.
Ia merasa aneh, meski dibawah Pohon tetap merasa gerah. Dulu saat sekolah Pohon itu tak jarang memberinya teduh. Lelehan keringat sering dikipas oksigen yang disemburkan daun-daun rimbunnya. Ke batang kokohnya ia bersandar memecah lelah.
Jelas saja ia tidak mau seperti Pohon ringkih tempatnya berteduh. Perlahan layu sebelum waktunya. Daun-daunnya menguning dan bisa dihitung dengan jari. Juga sangat tidak mengundang agar menyandarkan tubuh pada batangnya. Bekas gerogotan ulat-ulat bersembulan. Siapa pula yang mau gatalan?
Ia terus tersenyum---yang kali ini sambil mengenang kisah masa kanak-kanak di bawah Pohon. Jadi jelas hitungan matematisnya menolak tawaran penelpon, karena dampaknya sama seperti berteduh dibawah Pohon atau bersandar pada batangnya. Hanya merugikan, kecuali dulu.
Benar saja, perutnya benar-benar mules. Kebelet berlevel siaga. Ia memeriksa sekeliling. Untuk sampai ke rumahnya lumayan jauh dan begitu pula balik lagi ke arah ia datang---kota.
Liang duburnya sudah seperti liang ayam yang hendak bertelur. Tapi yang memaksa diri keluar bukan telur, malah sesuatu yang menjijikkan. Ia memandang ke segala penjuru, mencari-cari suatu tempat pelampiasan. Tidak ada. "Sial!" geramnya.
Sebab tidak ingin ngompol dan apalagi harus menumpahkannya di jok Mobil barunya, tentu tidak. Sudah berkali-kali ia mengelilingi mobilnya, mencari-cari tempat strategis. Masih nihil.
Sambil terus memegangi pantat pikiran konyolnya kambuh. Ia mencari tisu yang biasa tersedia di dashboard mobil. Sedang perut sudah sangat ngilu, rasa kecewa kembali hinggap, sebab tidak ada selembar pun benda yang diharapkan. Kembali ia teringat masa-masa kecil dulu. Ia biasa buang air besar di belukar dan menggunakan dedaunan sebagai pengelap---ketika senyap dan terdesak.
Pikiran joroknya menang, dengan pertimbangan masa kecil juga sering. Dengan jalan ngangkang buru-buru menemukan tempat jongkok yang aman dari pantauan lalu-lalang orang-orang.
Bukan tak ada tempat yang luput dari pantauan pengguna jalan. Tapi tidak ada dedaunan yang masuk akalnya untuk digunakan sebagai pembersih nantinya. Ulat-ulat, baik berbulu atau tidak bergelantungan di dedaunan semak belukar. Ia terus sibuk mengamati dedauanan atau apa saja yang bisa digunakan.
Terus berjalan mencari titik aman melepas residu santapannya. Hingga jarak ratusan meter belum juga ketemu. Rasa sesal muncul, sebab kenapa ia tidak langsung pulang saja, dengan waktu yang sudah terbuang mungkin ia sudah sampai ke rumah. Kini ia sudah benar-benar kebelet berlevel-level siaga. Ia merasa kepala kontorannya sudah menyentuh celana dalamnya. Celaka.
Rasa lega akhirnya muncul. Juga benda tak tau diri itu bisa dikendalikan. Belum sempat mengokotori celanannya, sekali pun celana dalam. Aman. Ia akhirnya jongkok di sebuah Kali. Sekitar dua ratusan meter dari Mobilnya. Kali itu juga melintasi kampungnya di bagian utara, selanjutnya ke Kabupaten sebelah, sebelum akhirnya bermuara ke laut lepas, Samudra Hindia.
Tanpa hambatan per kelonternya sampah itu sempurna lepas landas. "Plung, plung ..." bunyinya menghantam permukaan air yang tenang. "Ahhh ..." Sesekali ia melepas nafas panjang, memberi isyarat kepuasan. Sedang menikmati suasana lolos dari petaka, pikirannya melayang jauh ke belakang. Dengan bunyi "plung plung" terus berlanjut dengan tingkah riak yang tenang ia hanyut terbawa kenangan ...
Belasan meter di hadapannya ada genangan yang tak asing. Pada masa kecil, di situ ia sering memancing. Ke dalam wadah anyaman pandan tangkapan ditampung. Masa itu ia selalu beruntung. Ikan Mujair, Lele dan tak jarang Ikan Emas dibawa pulang. Sebab itu tiga hari dalam seminggu bapaknya memberi izin: sepulang sekolah menelusuri Kali membawa pancingan.
Tapi ada yang asing. Karena waktu telah lama mendaki tangga, jelas kontras dulu dan sekarang. Genangan air yang sering memberinya rezeki tidak seperti itu. Dulu tak ada Pembalut bekas dengan bercak darah belum tercuci bersih mengambang di permukaannya. Tidak ada pula plastik bekas sabun, sampo, deterjen, odol dll, baik berupa sasetan atau juga botolan, juga tumpukan sampah domestik lainnya.
Dalam lamunannya ia tak bisa memutuskan, apakah orang masa kini menempuh kemajuan atau sebaliknya. Lama ia berpikir, dan "Plung," gelondongan yang lumayan besar cukup deras menampar permukaan air, hingga percikan air terciprat ke kedua belah pantatnya, sebab itu ia mengangkat sedikit posisi jongkoknya dan kembali dari lamunannya. Kemudian kembali melanjutkan pemuasan.
Riakkan air yang mendayu pilu, tidak seganas dulu, seolah kurang vitamin, kembali menuntun lamunan lebih dalam. Kemana sebagain airnya? Padahal sawah-sawah retak, kekurangan air. Kakeknya dulu pernah berkata, saat membagi tangkapannya, kalau ia nanti akan benar-benar rindu saat-saat ini: bisa memancing di Kali. Ia tak percaya.
Tapi Kakeknya langsung menodong, "Apa kau pernah lihat ikan sebesar badanmu?" tanyanya. Ia menggeleng.
"Dulu mudah menemukan lebih besar darimu." Sambung Sang Kakek.
"Kakek bohong, kan?" Ia menganggap Kakeknya mengarang cerita.
"Eleh, eleh. Kau rasakan nanti. Bahkan taikmu akan sulit dihanyutkan."
Mengingat kata-kata itu, seketika ia menoleh ke belakang, dan benar saja balok-balok yang tadi menyiksanya masih belum hanyut.
Ia juga mengamati kalau dulu batu-batu raksasa banyak duduk bersahaja sepanjang badan Kali telah lenyap, hanya ada banyak tumpukan sisa pemotongan. Masih sedang meneliti perbedaan dulu dengan sekarang tangan kirinya seolah tau tugasnya, tanpa diperintah langsung bekerja. Perutnya sudah terasa aman. Sebelum menyentuh target, tiba-tiba mundur. Ia mengangkat tangan karena kaget melihat air tidak bening. Hitam pekat. Karena duburnya harus dicuci, ia memejamkan mata, lalu tangan kiri bekerja sebagaimana mestinya. Kelar. Lega.
Setelah mengangkat Celana dan berjalan ke tepian. Ia kembali terpaku, memandang arus yang perlahan berlalu. Sedih. Lamunannya kembali mengayuh lebih dalam ...
Burung Enggang melenggang di angkasa memecah keheningan. Tidak berpasangan. Sebab Burung yang sudah langka itu perhatiannya teralihkan. Semenjak Paruh Burung raksasa itu laku hingga ratusan juta, memang sudah jarang melintas. Banyak orang-orang mendadak suka makan Paruh.
"Kring! Kring!" Kembali hanphonenya mengganggu.
"Halo. Apa apa?" tanyanya.
"Halo, Bos. Kabarnya akan ada pemeriksaan limbah, Bos."
"Terus?"
"Produksi kita, Bos?"
"Lanjutkan. Tau kan banyak pesanan?"
"IPAL kan gak berfungsi..."
"Lanjutkan!"
"Bagaimana kalau petugas datang, Bos?"
"Nanti saya telpon Bos Amdal nya."
"Baik, Bos."
Tit!
Kemudian Alif menatap nanar pada batang Kali yang mengalir syahdu, seolah meratapi siksa yang pedih, tempatnya barusan buang hajat. Airnya tidak bening. Kadang berwarna-warni. Persis pewarna yang digunakan bagian penyablonan dan pencelupan di Konveksi miliknya. Lokasinya tepat di Selatan Kali dihadapannya.
Tidak jelas apa perasaannya. Entah rindu pada masa kanak-kanak saat riang bermain di ujung utara Kali itu, mungkin perasaan itu ada. Tapi ia memilih memalingkan muka. Tanpa berkata-kata, melangkah meninggalkan tempat yang dulu memberinya Ikan. Karena ia tidak butuh Kali masa dulu, yang dibutuhkan sekarang kali-kali masa kini---yang tidak menghasilkan Ikan tapi Emas.
Ia memacu Mobilnya kencang, tanpa melambai atau bersimpati pada Pohon yang sudah merangas, seolah dedaunan yang berguguran air mata, tempatnya berteduh saat ia sekolah dulu. Terus melaju sambil bersiul. Tiba-tiba rasa gatal timbul di liang duburnya. Lalu gatal berlanjut. Ia menggesesek pantatnya. Belum berhenti, malah tambah perih. Gatal yang sangat pedih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H