Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kali Masa Kini

22 Maret 2018   23:50 Diperbarui: 23 Maret 2018   09:55 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: foresteract.com/bantenprov.go.id

Sebab tidak ingin ngompol dan apalagi harus menumpahkannya di jok Mobil barunya, tentu tidak. Sudah berkali-kali ia mengelilingi mobilnya, mencari-cari tempat strategis. Masih nihil.

Sambil terus memegangi pantat pikiran konyolnya kambuh. Ia mencari tisu yang biasa tersedia di dashboard mobil. Sedang perut sudah sangat ngilu, rasa kecewa kembali hinggap, sebab tidak ada selembar pun benda yang diharapkan. Kembali ia teringat masa-masa kecil dulu. Ia biasa buang air besar di belukar dan menggunakan dedaunan sebagai pengelap---ketika senyap dan terdesak.

Pikiran joroknya menang, dengan pertimbangan masa kecil juga sering. Dengan jalan ngangkang buru-buru menemukan tempat jongkok yang aman dari pantauan lalu-lalang orang-orang.

Bukan tak ada tempat yang luput dari pantauan pengguna jalan. Tapi tidak ada dedaunan yang masuk akalnya untuk digunakan sebagai pembersih nantinya. Ulat-ulat, baik berbulu atau tidak bergelantungan di dedaunan semak belukar. Ia terus sibuk mengamati dedauanan atau apa saja yang bisa digunakan.

Terus berjalan mencari titik aman melepas residu santapannya. Hingga jarak ratusan meter belum juga ketemu. Rasa sesal muncul, sebab kenapa ia tidak langsung pulang saja, dengan waktu yang sudah terbuang mungkin ia sudah sampai ke rumah. Kini ia sudah benar-benar kebelet berlevel-level siaga. Ia merasa kepala kontorannya sudah menyentuh celana dalamnya. Celaka.

Rasa lega akhirnya muncul. Juga benda tak tau diri itu bisa dikendalikan. Belum sempat mengokotori celanannya, sekali pun celana dalam. Aman. Ia akhirnya jongkok di sebuah Kali. Sekitar dua ratusan meter dari Mobilnya. Kali itu juga melintasi kampungnya di bagian utara, selanjutnya ke Kabupaten sebelah, sebelum akhirnya bermuara ke laut lepas, Samudra Hindia.

Tanpa hambatan per kelonternya sampah itu sempurna lepas landas. "Plung, plung ..." bunyinya menghantam permukaan air yang tenang. "Ahhh ..." Sesekali ia melepas nafas panjang, memberi isyarat kepuasan. Sedang menikmati suasana lolos dari petaka, pikirannya melayang jauh ke belakang. Dengan bunyi "plung plung" terus berlanjut dengan tingkah riak yang tenang ia hanyut terbawa kenangan ...

Belasan meter di hadapannya ada genangan yang tak asing. Pada masa kecil, di situ ia sering memancing. Ke dalam wadah anyaman pandan tangkapan ditampung. Masa itu ia selalu beruntung. Ikan Mujair, Lele dan tak jarang Ikan Emas dibawa pulang. Sebab itu tiga hari dalam seminggu bapaknya memberi izin: sepulang sekolah menelusuri Kali membawa pancingan.

Tapi ada yang asing. Karena waktu telah lama mendaki tangga, jelas kontras dulu dan sekarang. Genangan air yang sering memberinya rezeki tidak seperti itu. Dulu tak ada Pembalut bekas dengan bercak darah belum tercuci bersih mengambang di permukaannya. Tidak ada pula plastik bekas sabun, sampo, deterjen, odol dll, baik berupa sasetan atau juga botolan, juga tumpukan sampah domestik lainnya.

Dalam lamunannya ia tak bisa memutuskan, apakah orang masa kini menempuh kemajuan atau sebaliknya. Lama ia berpikir, dan "Plung," gelondongan yang lumayan besar cukup deras menampar permukaan air, hingga percikan air terciprat ke kedua belah pantatnya, sebab itu ia mengangkat sedikit posisi jongkoknya dan kembali dari lamunannya. Kemudian kembali melanjutkan pemuasan.

Riakkan air yang mendayu pilu, tidak seganas dulu, seolah kurang vitamin, kembali menuntun lamunan lebih dalam. Kemana sebagain airnya? Padahal sawah-sawah retak, kekurangan air. Kakeknya dulu pernah berkata, saat membagi tangkapannya, kalau ia nanti akan benar-benar rindu saat-saat ini: bisa memancing di Kali. Ia tak percaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun