Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kecemburuan Bumi pada Bulan

16 Desember 2017   17:39 Diperbarui: 16 Desember 2017   17:51 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat ini tak ada yang lebih cemburu, daripada kecemburuan Bumi pada Bulan. Yang keberadaannya tak pernah diperhatikan. Padahal di tubuhnya manusia berjalan, berteduh, berusaha....

Sepertinya halnya cerita sepasang manusia yang hendak bulan madu dari kota besar itu. Sejoli yang terjebak macet hingga malam. Tersendat di mulut keluar kota.

"Yang. Bulan sebentar lagi merekah," kata si perempuan.

Di balik kemudi lelakinya gundah. Setelah memukul bundaran setir lalu menekan klakson kencang, panjang, tanpa berperasaan.

"Malam ini tak akan sempurna."

"Sabar sayang."

"Emmm... emang bisa sabar?"

Lelakinya menghela napas. Setelah menyadari perbuatannya barusan ia menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal.

"Seadainya kita sudah di puncak, enak kali ya? Menyaksikan perlahan kemunculan purnama."

"Lama-lama Bumi ini makin sesak saja."

"Andai kita tinggal di bulan. Pasti kita tak akan terjebak di jalanan," andai si perempuan lemah.

Bumi hanya bisa membisu mendengar pemuliaan terhadap Bulan. Sekalipun kata-kata yang keluar dari corong perempuan itu serak dan geli, mendengarnya Bumi dongkol. Apalagi di belahan tubuh lainnya sudah banyak yang memesan tiket ke Bulan. Bumi merasa akan ditinggalkan. Secepatnya.

-----

Seperti halnya celetukkan manusia di pengujung tahun ini. Yang sudah membuat janji-janji pelampiasan gembira. Bersama keluarga, sahabat dan orang-orang terdekat.

"Di mana-mana hujan ya?"

"Iya. Betah banget bumi becek."

"Banjir di mana-mana. Longsor di mana-mana. Huh!"

"Betul. Sepertinya bumi sudah enggan bersahabat."

"Semakin ngesalin saja ini bumi."

"Mana malam ini gak ada bulan lagi."

Bumi yang berulah minta diperhatikan, tapi manusia malah merindukan bulan.

-----

Seperti halnya sebuah keluarga yang sedang pesta makan di suatu malam. Di halaman luas istananya mereka menggelar tikar. Gelap. Kecuali percikan sinar lampu yang kian temaram.

"Kok banyak asap ya pak?"

"Iya. Bisa banyak yang sakit ini."

"Sudah pula bulan sebesar sabit, dihalangi kabut lagi."

Mendengar itu bumi hendak berteriak. Mengungkit dari mana mereka mendapatkan santapannya. Jelas si bapak tau, asap yang menghalangi bulan tak lain sebab ribuan hektar kebun mereka yang barusan dibakar.

"Kapan Engkau musnahkan ciptaanMu ini?" Bumi bersedu, mengadu pada Penciptanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun