Mengingat kamu pamitan waktu itu, seolah cerita kiamat yang diceritakan guru agama kita menimpaku---langit runtuh dengan bunyi menggelegar, dan menimpa diriku seorang diri. Senyummu ketika melambai---yang sudah diakui orang-orang manis itu---kuanggap hinaan.
Kamu memilih pergi, dengan alasan ikut keluarga yang pindah ke asal ibumu. Aku yang sudah mati-matian untuk menghalalkanmu, termasuk mencuri kotak amal untuk memenuhi permintaan keluargamu, tertinggal tak berdaya.
Setahun setelah pergi, kamu menambah deritaku. Semua akun media sosial milikmu ditutup. Seiring itu pula media mencuri-tau tentangmu tertutup. Ah, walau pun dulu kamu pernah bilang ingin melakukan itu, dengan alasan kian hari semakin tidak penting, yang kala itu kusetujui. Tapi setelah pergi, jelas aku tidak terima.
Salah satu teman kita, karibmu, malah melakukan protes keras atas kelakuanmu, status dengan emoticon marah memenuhi berandanya.
Dan selanjutnya aku selalu berusaha menghapus ukiran diatas batu dengan jari, ukiranmu.
"Iya. Mungkin nanti, di lain waktu kali ya? :'( "
"Kali berapa sih? Hahaha..."
"Aku kali kamu. Heheh."
"Hehe."
"Kamu sudah nikah?"
Lama sekali aku menunggu balasanmu. Sudah dua jam. Apa yang salah Mira? Aku pun sibuk mengira-ngira perasaanmu atas pertanyaan yang kusesali itu.