Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cuap-cuap dengan Mantan

22 Oktober 2017   23:33 Diperbarui: 22 Oktober 2017   23:44 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hi."

Itu pesan pertama dari aplikasi Wasapp yang belum genap sejam kudaftar. Sebenarnya aku malas mendaftarnya. Tapi karena orang-orang tidak lagi menanyakan nomor hp, ya terpaksa. Malah ada yang memberi kesan tidak enak saat kubilang tidak punya.

"Haii, juga. Siapa?"

Lama sekali kamu tidak balas. Aku menunggu. Sambil berusaha mengenali foto profilmu. Tidak dapat apa-apa, sangat tidak jelas bagiku. Padahal sudah sekuat tenaga mengobrak-abrik album ingatan.

Hasil lacakanku terhalang kemajuan teknologi. Kamu mengeditnya---barangkali dengan aplikasi yang ada 360 nya atau entah. Gambar hitam putih yang mungkin diselumuti efek monokrom, dan ada kesan rupa sepianya. Dengan tambahan posisi menghadap samping, jelas membuat bingung---memperlihatkan pipi yang kuduga tembem.

"Ya, Ampun! Sombong."

Setelah waktu hampir memakan separuh jam kamu baru membalas, dan langsung melabeliku tak bersahabat. Kembali aku meneliti gambarmu, sebab belum ada nama yang terdaftar di kontakku.

"Lo, kok sombong? Benar gak tau. Tidak ada nama kok."

Kalau saja kejadian ini melalui pesan biasa. Bisa dipastikan tidak kuhiraukan. Tapi karena menggunakan alat ini masih newbie aku memilih meladeni. Sambil basa-basi sekaligus latihan, pikirku.

"Oallah. Bilang aja sombong. Ini gw Mira."

Waduh. Iya, aku sangat bingung dengan sapaanmu. Sebab sudah dalam rentang waktu yang panjaaannnng sekali tak bersua. Kenapa tiba-tiba kamu nongol lagi?

"Bukan bermaksud begitu. Tapi tak ada nama yang terdaftar. Lagi pula fotonya diedit begitu keren, hingga membuyarkan fungsi mata. Pantas dong gak kenal. Hehe..."

"Itu bukan diedit. Tapi disket pake tangan kali. Dilukis. Hehe."

"O, sudah jadi pelukis rupanya."

"Kangen eluh, eh."

"OOO BEGITU!"

"hehe"

"Wajarlah kangen. Sama. Itu tandanya ada kenangan lekat diingatan. Wkwkwk. Dimana sekarang?"

"Lu kok mendadak so sweet gini? Padahal dulu gak."

"Gak suka? Sipplah. Emang sudah enggak ya. Hehe..."

Aku memperpanjang cuap-cuap bukan lagi karena ingin belajar media yang baru saja kugeluti ini. Tidak. Melainkan ingin.... barangkali melepas rindu.

"Sudah tiga tahun ya?"

Mengingat kamu pamitan waktu itu, seolah cerita kiamat yang diceritakan guru agama kita menimpaku---langit runtuh dengan bunyi menggelegar, dan menimpa diriku seorang diri. Senyummu ketika melambai---yang sudah diakui orang-orang manis itu---kuanggap hinaan.

Kamu memilih pergi, dengan alasan ikut keluarga yang pindah ke asal ibumu. Aku yang sudah mati-matian untuk menghalalkanmu, termasuk mencuri kotak amal untuk memenuhi permintaan keluargamu, tertinggal tak berdaya.

Setahun setelah pergi, kamu menambah deritaku. Semua akun media sosial milikmu ditutup. Seiring itu pula media mencuri-tau tentangmu tertutup. Ah, walau pun dulu kamu pernah bilang ingin melakukan itu, dengan alasan kian hari semakin tidak penting, yang kala itu kusetujui. Tapi setelah pergi, jelas aku tidak terima.

Salah satu teman kita, karibmu, malah melakukan protes keras atas kelakuanmu, status dengan emoticon marah memenuhi berandanya.

Dan selanjutnya aku selalu berusaha menghapus ukiran diatas batu dengan jari, ukiranmu.

"Iya. Mungkin nanti, di lain waktu kali ya? :'( "

"Kali berapa sih? Hahaha..."

"Aku kali kamu. Heheh."

"Hehe."

"Kamu sudah nikah?"

Lama sekali aku menunggu balasanmu. Sudah dua jam. Apa yang salah Mira? Aku pun sibuk mengira-ngira perasaanmu atas pertanyaan yang kusesali itu.

Dugaanku kau sudah menikah. Sebab itu kau memilih tidak membalas. Barangkali takut menjadi luka bagiku atau kamu tidak bahagia dengan suamimu dan menyesal telah meninggalkanku.

"Belum."

Akhirnya kamu jawab dengan singkat. Kembali aku menduga-duga: kamu terpaksa berbohong padaku, sebab setauku kamu tidak suka berbohong tapi harus terpaksa melakukan itu maka cukup lima huruf saja pikirmu.

"O. Lo kok?"

"Nanti kutelpon. Pamit. Ada penting nih. Daaaaa."

"Daaaaa."

Setelah kamu menunda jawab, dugaanku kembali muncul. Menurutku kamu betul-betul menyesal meninggalkanku dan sekarang ingin kembali padaku lagi.

Ah! Semoga saja dugaan terakhir itu keliru. Aku berharap kamu sudah punya calon yang lebih rendah dariku---akan membuatku puas. Lagi pula meninggalkanku telah memberi pelajaran berharga. Secara diam-diam uang dari kotak amal yang kucuri sudah kukembalikan---menyadari perbuatan itu salah. Sejak itu aku langsung melakukan taubat nasuha.

Lain lagi... lagi pula aku sudah memberikan mahar untuk calon istriku. Tidak, bukan uang haram. Aku mendapatnya dengan tetesan keringat, hasil jualan es cendol keliling, yang ku kumpulkan dua tahun lamanya.

Dan, ya, dugaan terakhirku tidak keliru. Aku langsung memutus dan mematikan Hp. Kukira kamu akan mengira masalah klasik penyebabnya: sinyal terputus. Padahal di sini Operator penyedia layanan sudah lumayan sukses memuaskan penggunanya.

"Satu Bang. Bungkus," pinta seorang anak.

Aku pun semangat melayani pelanggan Es Cendolku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun