“Ya, aku ingat Nen. Orang itu Paman Mad.”
Pasangan tua itu heran.
“Yang disembunyikan Ayah di Gubuk kebun dulu. Karena dikejar Polisi. Terakhir memang Ibu bilang, Paman Mad sudah jadi orang baik. Dan bekerja di Medan.”
“Tau dari mana, Kamu kenal wajahnya?”
“Tidak. Sudah bereokan sih.”
“Terus?”
“Hanya Paman Mad yang tau cita-cita masa kecilku jadi Petir,”Terangnya.“Haha.”Ia tertawa mngingat.“Paman Mad ketawa terus saat kusebut itu: ‘saya ingin jadi Petir agar semua orang takut’. Haha.”
Selama Ramadan terik matahari terus menyiksa tubuh ringkihnya. Senantiasa membakar kulitnya, menjadikannya legam. Menguapkan cairan dalam tubunya, hingga menjadi lelehan keringat. Juga musibah yang menimpa, sebagai jaminan kalau lebarannya akan suram.
Namun, dalam kamus kemenangan, tidak ada kata-kata pekerja keras akan menjadi pecundang. Juga berlaku juga untuk Sahir. Mendekati penilaian, matahari kedua tiba-tiba datang. Membawa cahaya dalam bungkusan Keresek hitam. Tiga setel pakaian lebaran baru ada didalamnya, satunya khusus perempuan. Segerombol dengan itu, segepok uang yang berhimpitan dalam Amplop coklat bertulisan “THR untuk Sahir” menjadi pelengkap kemenangan. Ia pun bersyukur, Alhamdulillah.***
*Nen: Nenek, singkatan dari Enen.
**Win: panggilan untuk anak laki. Etek: untuk anak perempuan.