“Ini siapa win?” Giliran Neneknya yang pusing, juga kakeknya yang sedang sakit. Ia hanya menggaruk-garuk kepala, tak menjawab.
Orang asing itu langsung duduk, mendekati sang kakek yang memaksakan diri bangun dari tempat berbaring. Langsung basa-basi menanyakan sakit apa gerangan sang Kakek.
“Sahir tak ingat saya?” Lelaki itu mulai membuka rasa penasaran. Sahir tersenyum, serba salah sambil menoleh ke kedua orang tua. Dan kemudian menggeleng.
“Memang sudah lamaaa sekali,” Terangnya. “Saya juga sudah mendengar kabar, kalau Abang Komar dan Kak Nori sudah meninggalkan kita. Saya turut sedih.”
“Tak apa Pak Cik. Sudah lama.”Lelaki itu tersenyum mendengar keterangan Sahir, atau karena memanggilnya Pak Cik.
“Kalau mengingat jasa Bang Komar saat menyembunyikan saya. Air mata saya suka menetes begitu saja.”
Lagi-lagi mereka dibuat pusing.
Beduk belum juga berbunyi, lelaki yang diketahui bernama Ahmad setelah memperkenalkan diri itu pun pamit undur diri. Karena perjalanannya masih cukup jauh, pulang ke kampung halamannya di Kecamatan tetangga, setelah sekian lama merantau. Kalau bukan begitu alasannya jelas mereka tersinggung, sebab mendekati waktu makan tamu berpamitan, tak lain sebuah penghinaan pada tuan rumah, begitu tradisi suku mereka.
“Kau harus semangat ya, sampai cita-cita jadi petir terwujud. Hehe.”Kantong Keresek hitam di samping kanan lelaki itu disorongkan ke hadapan Sahir.
Biasanya Sahir selalu berusaha menolak pemberian. Tapi teka-teki yang dilontarkan lelaki itu membuatnya lupa. Sampai Mobil yang dikendarai lelaki itu meninggalkan kampungnya ia masih berusaha mencari jawab.
“Kenapa tidak menolak win. Menerima pemberian dari orang yang tidak dikenal itu tidak baik. Apalagi tidak bilang apa yang dia beri.” Serembet neneknya. Ia masih bingung.