Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran Sahir

19 Juni 2017   22:52 Diperbarui: 20 Juni 2017   02:55 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada ramadan ini, meski cuaca begitu terik, semangat Sahir tidak pernah kendur menggores bait-bait pahala ke dalam catatannya. Di bulan yang sakral ini, ia menapaki hari demi hari penuh perjuangan, menuruti pesan yang disampaikan Ibunya saat usianya sepuluh tahun dulu: jangan mengaku paling dekat denganNya, jika tidak berhasil memeras saripati ramadan, dan menenggaknya amblas. Sebelum akhirnya sang Ibu pun direngkuh ke pangkuanNya. Meninggalkan segudang pesan yang senantiasa diamalkannya. Sedangkan Ayahnya lebih dulu pamit.

Sejak hari pertama puasa, selain kesulitan membiasakan diri dengan permainan, Matahari turut serta menambah siksaan dengan bantuan langit tanpa berlapiskan awan. Seolah menunjukkan betapa semrautnya dosa-dosa manusia yang harus dibakar.

Cahaya matahari terus menghujam. Tanpa ampun mereduksi cairan yang diisi pada saat santap sahur dan sebagian waktu di malam hari. Hingga membuat sekujur tubuh dihinggapi gerah yang tiada tara. Tajam. Menyengat, panas.

Meski begitu, dengan pengamalan ibadah yang kental, Sahir selalu pergi sekolah. Jarak kampung ke sekolah yang terbentang hingga puluhan kilometer, berhasil menjadikan sebagian temannya jadi pecundang ilmu—bolos sekolah—dan pemurtad ibadah—tidak puasa. Tidak kuat jalan kaki, pulang pergi sekolah jadi alasannya.

“Musim panas begini. Kalau gak kuat, tidak usah sekolah.” Di suatu pagi Neneknya memberi usul. Kakeknya juga mengamini.

“Saya kuat Nen*.” Ia menepis usulan Neneknya. Yang tentu saja menurutnya salah. Setelah memberi salam ia berangkat, seperti biasa penuh semangat.

Baginya ilmu adalah jembatan menuju kemudahan. Maka, ia harus tetap menggali ilmu pada tempatnya, sekolah. Karena di kemudian masa, ia tidak mau hidupnya diperkosa kesulitan. Melainkan ia berharap, dengan cahaya benderang ilmu, kelak hidupnya akan selalu bersenggama dengan kemudahan. Begitu, yakinnya.

Rerata atap rumah warga terbuat dari seng bergelombang yang berbahan baja tipis, membuat berdiam didalamnya bukan suatu pilihan, pengap. Selain itu demi pemenuhan tradisi keliru tentang siapa pun harus bahagia di hari fitri, jadi penguat sudah jarang manusia tenggelam dalam lantunan ayat Ilahi, apalagi sekedar berdiam diri atau berlindung. Mustahil. Sebab itu, banyak juga iman manusia dewasa bertumbangan.

“Bagaimana mau puasa, hasil kebun murah semua. Baju anak-istri pun belum ada.”

Pernyataan dari Pak Odon, petani Cabai yang sedang panen raya dan kesulitan memikirkan timbunan hutang modal kebunnya. Selain beberapa bapak-bapak di Poskamling sore itu mengeleng-gelengkan kepala, ada juga yang mengangguk-anggukkan kepala menanggapi pengakuan Pak Odon, malah jumlahnya lebih banyak.

Ditengah terik terus memangsa, di situ pula harus mengais bulir demi bulir rizeki di pematang kebun dan hamparan sawah, siapa yang tahan berpuasa; tenta saja mereka yang kebal iman semata—salah satunya Sahir.

Memang kondisi hidupnya serba sulit, yatim piatu minus warisan, yang tinggal dengan sepasang tua dengan serba kekurangannya. Walau pun berselimutkan keterbatasan itu, sama sekali tidak membuat lentur keimanan anak yang masih 13 tahun itu.

Usianya yang masih belia dipaksa nasib menjadi tulang punggung. Sepulang sekolah dan pada hari libur Ia selalu bermain di sepetak kebun mereka, bekerja tepatnya. Terkadang kedua pengasuhnya membatasi. Tapi pikirannya yang sudah melampaui anak seusianya, membuat kakek-neneknya tak kuasa mencengah. Ia tetap berpuasa dengan setumpuk pekerjaan itu.

Di Kebun mereka yang serba-serbi—ditanami Singkong, Pisang dan bermacam buah-buahan lainnya, seperti Jeruk, Mangga dan Jambu Air—siang itu mereka bertiga. Mengemas Singkong yang sudah dicabut dan Sisir-sisir pisang ke dalam karung. Ramadan tahun lalu, Jeruk dan Mangga panen melimpah, membuat mereka bisa bernapas lega, tapi tetap saja Sarung baru untuk lebaran tidak terbeli. Kini kedua tanaman yang laku keras itu tidak berbuah.

Dalam aktivitas itu, tentu saja Sahir yang paling sibuk. Dengan cekatan Ia sukses menyempitkan lelehan tenaga dari kedua makhluk pemilik tulang yang terbungkus kulit keriput menemaninya, seperti biasa sejak ia menginjak SMP.

Matahari baru saja memulai perjalanan menurun dan langit tanpa hiasan awan. Meski cahayanya sedikit terhalang dedaunan Pohon mangga yang sudah menjulang. Tetap saja keringat deras mengalir di sekujur tubuhnya.

“Win**. Lihat ada jeruk matang,”Kakeknya menunjuk sebuah jeruk lima manis yang sudah sepenuhnya merah. Sahir menoleh. “Sayang kalau dimakan Tupai.”

“Iya, Wan***. Cuma satu lagi.”

“Panjat sana.”

Ia pun bergegas memanjat. Dan berhasil memetik buah Jeruk yang ranum itu.

“Itu enaknya dimakan panas begini.”

“Haha. Awan mau?”

“Bukan. Tapi kamu win. Yang capek kerja kan kamu.” Usul kakeknya. Yang sebanarnya ngiler lihat buah menggoda itu.

“Jeruknya disimpan saja buat buka Wan.” Ia pun kembali khusyuk bekerja.

Sebenarnya sang kakek kasihan melihatnya kerja, padahal ia masih ditekan puasa. Gaya memutar perkatan itu tidak lain hanya sebagai isyarat kalau sang Kakek memberi restu ia berbuka lebih awal. Maksud kasihan kakeknya sirna dihempas kedalaman iman dalam dadanya.

Barang siap dikemas. Selanjutnya dengan bantuan Kereta Sorong mereka mengangkut ke Kampung. Warung yang menampung telah menunggu. Untuk selanjutnya pengepul mengolah Singkong yang mereka jual menjadi kolak dan pisang mentah sebagai keripik pisang. Terkadang Kolak yang sudah jadi, mereka beli kembali sebagai hidangan berbuka.

Meski uang telah terkumpul. Namun ada saja halangan menimpa. Sarung baru untuk lebaran tidak jadi terbeli. Baru saja hutang operasi Katarak Neneknya lunas, kini giliran sang Kakek yang jatuh sakit.

Kebiasaan kakeknya yang sudah dari dulu mengisap keretek, kini membuat ulah, paru-paru basah menggerogoti tubuhnya. Awalnya sang kakek enggan dirawat ke rumah sakit. Yang diderita merupakan penyakit usia, menjadi alasan kakeknya. Dengan perhitungan tanggungan BPJS Kesehatan, Sahir memaksa. Ia tahu itu setelah operasi neneknya.

Namun, kali ini persoalannya jadi beda. Walau pun Kartu KIS telah digenggam, ada saja usulan Apoter RSUD untuk membeli tablet Pil ke Apotek Swasta, karena tidak tersedia. Ia balik mengadu pada dokter pemberi resep, meminta solusi. Nihil, tetap saja harus dibeli.

Bagi ukuran kantong mereka, harga satu tablet Pil Rp. 100.000 jelas membuat kepala pusing. Pil itu tidak ngaco. Jika sang kakek mau sembuh, saban hari harus ada dua butir pil ajaib tertelan, begitu keterangan dokternya.

Dengan uang terkumpul, hitungan matematisnya lebaran tahun ini ia tak akan beda dengan anak lainnya: Kue lebarang pasti terhidang serta Sandal baru, Baju baru dan tentu Sarung baru pasti terbeli. Tapi uang itu telah ludes untuk memenuhi obat sang kakek dalam sepuluh hari. Untuk selanjutnya ia telah melirik celengan, yang sudah semenjak SD ia menabung. Maksud hatinya, Celengan Bambu yang sudah berat itu akan pecah saat ia kuliah nanti. Tapi ia ikhlas harus dipecahkan lebih awal.

Sementara kakeknya terbaring lemah, dan harus mengonsumsi obat wajib dengan harga selangit. Harum kue yang dipanggang dan digoreng tercium menyengat dari rumah-rumah tetangga. Sapi dan Kerbau jantan sehat telah bertumbangan dengan leher terhunus benda tajam. Selanjutnya akan dibagi ke setiap warga yang menyetor Rp. 300.000, bagi adil, jelas mereka tidak dapat. Kambali tidak ada perbedaan dari lebaran sebelumnya, pikirnya. Ia hanya bisa menghela napas, menerima serela mungkin kalau lebaran tinggal menghitung jam, tak lebih dari lima belas jam lagi.

Tidak lama lagi waktu berbuka, seseorang berdiri di ambang pintu, mengetuk daun pintu berbahan pinus yang telah keropos karena semenjak ia ingat tak pernah diganti. Setelah ia membuka, sesosok yang samar-samar ia kenal tersenyum padanya. Seolah tak asing, tapi ia lupa siapa, apalagi harus memanggil apa. Meski begitu, lelaki paruh baya yang terus tersenyum itu ia persilakan masuk.

“Ini siapa win?” Giliran Neneknya yang pusing, juga kakeknya yang sedang sakit. Ia hanya menggaruk-garuk kepala, tak menjawab.

Orang asing itu langsung duduk, mendekati sang kakek yang memaksakan diri bangun dari tempat berbaring. Langsung basa-basi menanyakan sakit apa gerangan sang Kakek.

“Sahir tak ingat saya?” Lelaki itu mulai membuka rasa penasaran. Sahir tersenyum, serba salah sambil menoleh ke kedua orang tua. Dan kemudian menggeleng.

“Memang sudah lamaaa sekali,” Terangnya. “Saya juga sudah mendengar kabar, kalau Abang Komar dan Kak Nori sudah meninggalkan kita. Saya turut sedih.”

“Tak apa Pak Cik. Sudah lama.”Lelaki itu tersenyum mendengar keterangan Sahir, atau karena memanggilnya Pak Cik.

“Kalau mengingat jasa Bang Komar saat menyembunyikan saya. Air mata saya suka menetes begitu saja.”

Lagi-lagi mereka dibuat pusing.

Beduk belum juga berbunyi, lelaki yang diketahui bernama Ahmad setelah memperkenalkan diri itu pun pamit undur diri. Karena perjalanannya masih cukup jauh, pulang ke kampung halamannya di Kecamatan tetangga, setelah sekian lama merantau. Kalau bukan begitu alasannya jelas mereka tersinggung, sebab mendekati waktu makan tamu berpamitan, tak lain sebuah penghinaan pada tuan rumah, begitu tradisi suku mereka.

“Kau harus semangat ya, sampai cita-cita jadi petir terwujud. Hehe.”Kantong Keresek hitam di samping kanan lelaki itu disorongkan ke hadapan Sahir.

Biasanya Sahir selalu berusaha menolak pemberian. Tapi teka-teki yang dilontarkan lelaki itu membuatnya lupa. Sampai Mobil yang dikendarai lelaki itu meninggalkan kampungnya ia masih berusaha mencari jawab.

“Kenapa tidak menolak win. Menerima pemberian dari orang yang tidak dikenal itu tidak baik. Apalagi tidak bilang apa yang dia beri.” Serembet neneknya. Ia masih bingung.

“Ya, aku ingat Nen. Orang itu Paman Mad.”

Pasangan tua itu heran.

“Yang disembunyikan Ayah di Gubuk kebun dulu. Karena dikejar Polisi. Terakhir memang Ibu bilang, Paman Mad sudah jadi orang baik. Dan bekerja di Medan.”

“Tau dari mana, Kamu kenal wajahnya?”

“Tidak. Sudah bereokan sih.”

“Terus?”

“Hanya Paman Mad yang tau cita-cita masa kecilku jadi Petir,”Terangnya.“Haha.”Ia tertawa mngingat.“Paman Mad ketawa terus saat kusebut itu: ‘saya ingin jadi Petir agar semua orang takut’. Haha.”

Selama Ramadan terik matahari terus menyiksa tubuh ringkihnya. Senantiasa membakar kulitnya, menjadikannya legam. Menguapkan cairan dalam tubunya, hingga menjadi lelehan keringat. Juga musibah yang menimpa, sebagai jaminan kalau lebarannya akan suram.

Namun, dalam kamus kemenangan, tidak ada kata-kata pekerja keras akan menjadi pecundang. Juga berlaku juga untuk Sahir. Mendekati penilaian, matahari kedua tiba-tiba datang. Membawa cahaya dalam bungkusan Keresek hitam. Tiga setel pakaian lebaran baru ada didalamnya, satunya khusus perempuan. Segerombol dengan itu, segepok uang yang berhimpitan dalam Amplop coklat bertulisan “THR untuk Sahir” menjadi pelengkap kemenangan. Ia pun bersyukur, Alhamdulillah.***

*Nen: Nenek, singkatan dari Enen.

**Win: panggilan untuk anak laki. Etek: untuk anak perempuan.

***Wan: Kakek, singkatan dari Awan.

Gayo Lues, Mendekati Lebaran, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun