Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Pria Bertopi

4 Juni 2017   21:39 Diperbarui: 4 Juni 2017   21:46 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kenapa cepat sekali kau ke sini kawan? Padahal usiamu masih muda.”

“Aku ingin membunuh penjajah. Tapi, yang namanya penjajah pasti sangat kuat.”

“Siapa yang penjajah itu?”

Lelaki peot yang memang sudah sewajarnya berada ditempat itu penasaran.

"Hatiku telah terjajah jauh-jauh hari kawan. Namun, prihal siapa yang jajah jangan kau tanya. Selain kau akan bertanya lagi dan lagi, juga kau ‘kan sulit percaya."

"Ceritalah. Di sini waktu masih panjang."

Desak kawannya itu. Maka Ia bercerita.

***

Awal mulanya Ia datang pada tetangga sebelah rumah. Aku mengamati kedatangannya dan bertanya-tanya. Karena rumah tetangga hanya berbatas dinding papan tipis, sehingga terkadang aku mendengar bunyi-bunyi yang seharusnya disensor dari baliknya, bukan maksud mau menguping: Aku leluasa mendengar pria itu bercakap-cakap, menebar janji suci yang mustahil ditolak oleh orang-orang sebangsa kami.

Baru beberapa waktu saja Pria bertopi itu pergi, asap knalpot mobil tuanya masih merusak pemandangan dan mengotori halaman dan dinding rumahku serta rumah kanan kiri. Aku langsung loncat ke rumah tetangga dengan dalih mencari Kucing betina bunting. Kucing yang pura-pura kucari tidak ada. Seolah hanya basa basi Aku mengalihkan topik pada pria bertopi.

Tetangga antusias menanggapi, aku nya Ia memang akan mengajak dan membagi rezeki dari Pria bertopi. Aku juga penuh semangat, selain untuk mengimbanginya juga sebab dalil tidak baik menolak rezeki. Lagi pula, siapa sih merasa sedih mendapat kabar akan dapat rezeki?

Tetangga bercerita tentang cerita Pria bertopi dengan nada naik turun, pada bagian yang agaknya tak perlu orang dengar Ia berkata pelan tapi tegas, sesekali pada kata penegasan bagian-bagian penting mulutnya muncrat dan suaranya menggelegar. Tak ayal perbincangan kami mengundang tanya dari warga yang melintas di jalan. Selanjutnya banyak penanya ingin dapat jawaban. Jadilah, kejadian itu seperti pengajian, dan tuan rumah menjadi pemberi petuah.

Dari sekian banyak jamaah pencerahan, hampir memenuhi ruang tamu yang tergolong besar itu, hanya aku dianggap paham oleh pencerah atas cerahan penuh manfaat itu. Jamaah lain meski menyatakan ikut bergabung masih buta akan proses pemenuhannya. Jadi mereka setuju karena ada bau untung semata. Dengan alasan itu, aku dilantik tanpa SK menjadi tukang penyambung lidah agar semakin banyak warga kenyang.

Aku semakin militan menjalani tugas yang diembankan. Bergeriliya menyambangi rumah-rumah kumuh dan berbau lapar. Lokasi-lokasi demikian lah menjadi prioritas perjuangan penyampaian pesan. Selain mereka-mereka begitu membenci lapar juga merindu kenyang. Jadi tepat sekali dengan misi perang yang disampaikan tetangga padaku: menonjok lapar dan berkawan dengan kenyang.

Aku terus bergeriliya dan perang semakin nyata, Pria-Pria bertopi lainnya yang kami anggap penghalang misi terus memberi perlawanan ketat. Hal itu membuat Pria bertopi menyampaikan pesan pada tetangga, begini pesannya: kalau ada Pria bertopi lain mengatakan kemustahilan dari misi mulia kami jangan percaya sama sekali, sebab Ia akan mengambil kenyang dan kita akan tetap lapar. Pesan itu Aku sampaikan pada jamaah pembenci lapar dan perindu kenyang yang telah menyatakan ikut bertarung memenangkannya.

Lama kelamaan aku diangkat lagi menjadi ketua penyampai pesan tingkat Kecamatan. Karena wilayah tugas menjadi lebih besar, aku kadang mengeluh. Pria bertopi langsung menemuiku, membujuk agar tetap semangat dan jangan berhenti. Ia memberi alat dan biaya transportasi padaku.

Aku masih ingin tugasku diringankan, dengan alasan harus bertani demi menyambung hidup. Ia menambah uang saku dan menekan akan mulianya misi kami. Aku pun nurut dan lebih semangat. Bukan semata karena fasilitas yang diberi, jelas bukan. Sebenarnya, dalam hatiku alasan mengapa Aku lanjut berjihad karena misi mulia kami. Aku juga muak selama ini atas pembodohan dan pengambilan hak terhadap kami.

Kalau seandainya kami diperlakukan Pria bertopi sebagai anak tiri dirumah sendiri sudah sewajarnya kalau kami iri dan atau kalau kami bisa berdiri tegak namun dibodohi agar tetap berjalan jongkok bahkan merayap apa salahnya kalau kami melayangkan tinju tepat di muka Pria bertopi? Pernyataan dan pertanyaan semacam itu terus melayang dalam kepala, seolah memompa semangat juang untuk terus berusaha mengambil hak dan melenyapkan kedzaliman.

Seterusnya aku menyampaikan pada perindu kenyang. Dari itu mereka senantiasa berlatih senam kesehatan Jasmani untuk mempersiapkan pertarungan fisik, dan mereka selalu berlatih senam kesehatan Rohani untuk mempersiapkan pertarungan jiwa. Saling menjaga dan bergotong royong agar tujuan tercapai terus kami lakoni.

Puncak perjuangan akhirnya tiba. Masa-masa kritis yang menjadi penentu hasil pertarungan, serangan fajar terdengar gaungnya di setiap pelosok hingga banyak dari kelompok kami bertumbangan. Mereka-mereka itu lebih memilih kenyang sementara.

Kucuran keringat dan lelehan tenaga kami berjuang membuahkan hasil. Kenyang yang kami citai tercapai dengan sempurna, Pria-Pria bertopi di pihak lawan hendak menyangkal. Namun ketelakan kekalahan mereka begitu nyata, hingga mereka tak berkutik. Aku, tetangga yang membujukku dan para perindu kenyang bersujud syukur kerena telah berhasil menonjok lapar.

Hari-hari yang dijanjikan Pria bertopi telah tiba, bahkan minggu dan bulan sudah berganti-ganti. Sang waktu pun sudah mau meninggalkan tahun pertama, lapar masih menjadi pakaian kami sehari-hari.

Para pejuang kenyang menuntut janji padaku, terutama mereka yang kucerahi. Karena Aku juga masih merasa lapar, maka Aku mencolek tetangga yang mengajakku. Ia paham betul maksudku, dan berjanji mencolek Pria bertopi yang mengajaknya. Ia yakin Pria bertopi akan memberi jawab atas janjinya,sesegera mungkin.

Tetangga menunda jawab, Aku pun menunda jawab pada perindu kenyang. Tetangga menunda jawab lagi, Aku menunda jawab pada perindu kenyang lagi. Tetangga lagi dan lagi menunda jawab, Aku lagi dan lagi menunda jawab pada perindu kenyang. Tetangga terus-terusan menunda jawab, Aku pun demikian.

Lama-kelamaan, salah seorang perindu kenyang dibawah cerahanku mengantar anak-anaknya ke rumah reotku, guna mengenyangkan tubuh kering krontang mereka yang selama ini diselimuti lapar.

Aku kaget dan tentu Istriku lebih kaget lagi, amukkannya yang melebihi keganasan predator terganas di dunia dapat ku tenangkan sementara. Bujukanku membuat Ia mau membagi jatah seminggu kedepan pada tubuh-tubuh ringkih yang bertamu, tentu dengan menyebut dalil agama dan imbalan berlebih dari Pria bertopi.

Karena keadaan semakin genting, Aku menagih jawab dari Tetangga dengan ancaman memerahkan muka, Ia berjanji segera menagih jawab dari Pria bertopi.

Secara diam-diam, layaknya tidak ada apa-apa. Yang biasanya heboh, tetangga lenyap dari Desa. Rumahnya tiba-tiba telah dijual, prabotan telah kosong. Begitu lihainya Ia melenyapkan diri, rumah kami yang hanya berbatasan tembok papan berlubang. Bahkan terkadang bunyi-bunyi yang seharusnya disensor pada tengah malam tak jarang terdengar, ini biasanya proses terberisik bahkan Aku tidak mengetahui, lihai bukan?

Ancaman dari para perindu kenyang terus berdatangan. Mereka membuat pernyataan mengerikan: kalau kenyang yang ku janjikan pada mereka tidak dipenuhi segera, mereka dan keluarganya akan pindah ke rumahku.

Mendengar itu, Aku buru-buru menemui Pria bertopi yang telah memiliki jubah baru hampir separuh windu. Di rumah yang barunya Pria bertopi tidak ada. Ada urusan di luar daerah menurut keterangan penjaga yang menyambut.

Muka pias dan Mata pilu penuh harap akan kenyang terus ditembakan padaku. Bahkan semakin tajam dan dari hari ke hari semakin bertambah. Maka rumah mewah Pria bertopi terus menerus ku kunjungi, lagi dan lagi Ia tidak ada dengan alasan berbeda lagi. Ku kunjungi lagi, masih tidak ada lagi dengan alasan berbeda lagi.

Disamping usahaku menemuinya, tubuh-tubuh kering kerontang terus berdatangan ke rumah sambil menembakkan Mata penuh harap mereka dengan tajam. Aku semakin kasihan dan takut pada tubuh-tubuh ringkih yang diselimuti lapar, bahkan lebih menyiksa dari sebelumnya.

Pada keratusan kalinya Aku berusaha menemui Pria bertopi, masih saja Ia tidak ada dengan alasan berbeda lagi. Namun ada seorang yang mengaku tangan kanan Pria bertopi menyambutku. Prihal kedatanganku dan kondisi perindu kenyang yang semakin lapar, ku ceritakan padanya dan Ia manggut-manggut paham.

Ia memberikan solusi -menurutnya, tapi tidak bagiku. Ia menyarankan Aku pindah, masalah biaya dan tempat tinggal menjadi urusan Pria bertopi. Aku pun diminta menimbang tawarannya. Dalam timbangan terbayang muka-muka lapar yang sangat merindu kenyang karena hak mereka dirampas dengan cara pembodohan sistematis.

Selain itu terngiang dalam kepalaku petuah Pria bertopi yang ahli mengajar membuka pintu Surga; Pria bertopi juga manusia, bisa salah kata dan lupa, karena Ia manusia bisa jadi ingkar janji, katanya.

Pada muka licik si tangan kanan menghantam piring Gorengan yang dihidangkan untuk menjamuku. Seketika suasana dalam rumah agung itu riuh, beberapa orang berusaha menghentikan. Aku menggenggam pecahan Piring yang agak tajam, dan berusaha mencari sebuah ruangan.

Aku menendang pintu sebuah ruangan, didalam Aku temui Pria bertopi bersandar malas pada Kursi mewahnya, Ia kaget. Terlihat muka kurusnya yang memang kurus semakin kurus. Sebelum Aku berusaha menghujam kaca tajam pada perutnya, diiringi dengan letusan sesuatu telah menembus Jantungku, tubuhku jatuh berdebam ke lantai, sebelum memejamkan mata Aku lihat Pria bertopi tersenyum menang padaku.

***

"Begitu ceritanya Kawan."

Kawannya yang juga berbaju Hijau mengangguk paham. Sementara bermacam Sungai dibawah tempat mereka terus mengalir.

Gayo Lues, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun