Tetangga bercerita tentang cerita Pria bertopi dengan nada naik turun, pada bagian yang agaknya tak perlu orang dengar Ia berkata pelan tapi tegas, sesekali pada kata penegasan bagian-bagian penting mulutnya muncrat dan suaranya menggelegar. Tak ayal perbincangan kami mengundang tanya dari warga yang melintas di jalan. Selanjutnya banyak penanya ingin dapat jawaban. Jadilah, kejadian itu seperti pengajian, dan tuan rumah menjadi pemberi petuah.
Dari sekian banyak jamaah pencerahan, hampir memenuhi ruang tamu yang tergolong besar itu, hanya aku dianggap paham oleh pencerah atas cerahan penuh manfaat itu. Jamaah lain meski menyatakan ikut bergabung masih buta akan proses pemenuhannya. Jadi mereka setuju karena ada bau untung semata. Dengan alasan itu, aku dilantik tanpa SK menjadi tukang penyambung lidah agar semakin banyak warga kenyang.
Aku semakin militan menjalani tugas yang diembankan. Bergeriliya menyambangi rumah-rumah kumuh dan berbau lapar. Lokasi-lokasi demikian lah menjadi prioritas perjuangan penyampaian pesan. Selain mereka-mereka begitu membenci lapar juga merindu kenyang. Jadi tepat sekali dengan misi perang yang disampaikan tetangga padaku: menonjok lapar dan berkawan dengan kenyang.
Aku terus bergeriliya dan perang semakin nyata, Pria-Pria bertopi lainnya yang kami anggap penghalang misi terus memberi perlawanan ketat. Hal itu membuat Pria bertopi menyampaikan pesan pada tetangga, begini pesannya: kalau ada Pria bertopi lain mengatakan kemustahilan dari misi mulia kami jangan percaya sama sekali, sebab Ia akan mengambil kenyang dan kita akan tetap lapar. Pesan itu Aku sampaikan pada jamaah pembenci lapar dan perindu kenyang yang telah menyatakan ikut bertarung memenangkannya.
Lama kelamaan aku diangkat lagi menjadi ketua penyampai pesan tingkat Kecamatan. Karena wilayah tugas menjadi lebih besar, aku kadang mengeluh. Pria bertopi langsung menemuiku, membujuk agar tetap semangat dan jangan berhenti. Ia memberi alat dan biaya transportasi padaku.
Aku masih ingin tugasku diringankan, dengan alasan harus bertani demi menyambung hidup. Ia menambah uang saku dan menekan akan mulianya misi kami. Aku pun nurut dan lebih semangat. Bukan semata karena fasilitas yang diberi, jelas bukan. Sebenarnya, dalam hatiku alasan mengapa Aku lanjut berjihad karena misi mulia kami. Aku juga muak selama ini atas pembodohan dan pengambilan hak terhadap kami.
Kalau seandainya kami diperlakukan Pria bertopi sebagai anak tiri dirumah sendiri sudah sewajarnya kalau kami iri dan atau kalau kami bisa berdiri tegak namun dibodohi agar tetap berjalan jongkok bahkan merayap apa salahnya kalau kami melayangkan tinju tepat di muka Pria bertopi? Pernyataan dan pertanyaan semacam itu terus melayang dalam kepala, seolah memompa semangat juang untuk terus berusaha mengambil hak dan melenyapkan kedzaliman.
Seterusnya aku menyampaikan pada perindu kenyang. Dari itu mereka senantiasa berlatih senam kesehatan Jasmani untuk mempersiapkan pertarungan fisik, dan mereka selalu berlatih senam kesehatan Rohani untuk mempersiapkan pertarungan jiwa. Saling menjaga dan bergotong royong agar tujuan tercapai terus kami lakoni.
Puncak perjuangan akhirnya tiba. Masa-masa kritis yang menjadi penentu hasil pertarungan, serangan fajar terdengar gaungnya di setiap pelosok hingga banyak dari kelompok kami bertumbangan. Mereka-mereka itu lebih memilih kenyang sementara.
Kucuran keringat dan lelehan tenaga kami berjuang membuahkan hasil. Kenyang yang kami citai tercapai dengan sempurna, Pria-Pria bertopi di pihak lawan hendak menyangkal. Namun ketelakan kekalahan mereka begitu nyata, hingga mereka tak berkutik. Aku, tetangga yang membujukku dan para perindu kenyang bersujud syukur kerena telah berhasil menonjok lapar.
Hari-hari yang dijanjikan Pria bertopi telah tiba, bahkan minggu dan bulan sudah berganti-ganti. Sang waktu pun sudah mau meninggalkan tahun pertama, lapar masih menjadi pakaian kami sehari-hari.