Cerita sebelumnya:Ibu Ingin Istirahat
Semua orang sudah tau Perempuan yang ada di rumah Wanto adalah istrinya. Pesta pernikahan mereka tergolong mewah, sangat berkelas. Membuat orang sekampung juga paham, bahwa kehadiran perempuan yang berprofesi guru TK itu sangat dinanti keluarga pak Mamad, ayah Wanto. Sudah menjadi simbol tersendiri bagi orang-orang kampung, kemeriahan pesta pernikahan sebagai tolak ukur penerimaan dari keluarga mempelai.
Jadi kalau pesta meriah, jelas tidak ada hati anggota keluarga membeku. Andai kata sebaliknya—suasana pesta layaknya kembaran kuburan di malam Jum’at keliwon—tidak perlu dilakukan observasi, orang-orang telah mengerti kalau sebagian hati tuan rumah mirip gelas retak, pecah pun tidak, utuh pun demikian, yang jelas minuman tidak elok dituang ke dalamnya. Tidak ada bahagia yang dipaksakan bagi warga kampung Suka Maju. Mereka lebih menghargai yang berduka cita ketimbang sebaliknya.
Semua orang sudah tau kalau Wanto pada dasarnya masih enggan menikah. Meski sudah berumur, ia masih ingin lebih lama mengunyah sari pati hidup saat berstatus lajang. Namun ibu dan bapaknya telah menyalakan lampu hijau perempatan, melalui adik perempuan bapaknya, Bibinya—terkadang ibunya langsung blak-blakan padanya. Membuat ia merasa tidak enak jika enggan melaju. Kecintaan pada orang tua menjadi pondasi hatinya.
Semua orang sudah tau kalau Maimunah, istri wanto, dimaksudkan keluarga Pak Mamad sebagai ganti Ibu Mamad yang kebelet ingin istirahat. Maksudnya, ibunya sudah jengah mengurusi tetek begek dalam rumah tangga, meski pun itu bukan tujuan utama.
Kendati begitu rupa, waktu pun telah mencatat rapi keberadaan Maimunah. Semester dengan gagah dan tanpa prihatin menendang triwulan. Namanya harapan, tentu tidak mutlak akan terwujud. Pasti ada celah, entah maju selangkah atau mundur setengah. Yang jelas, mustahil sama persis. Kasak kusuk yang diharapkan dari Maimunah tercium bau amis kegagalan. Ibu Mamad tak kunjung istirahat dengan tenang.
“Pagi hanya nyolokin Nasi, langsung pergi. Mantu apa itu?” Suatu pagi keluh Ibu Mamad pada Pak Mamad dengan jengkel.
“Mmmm... .” Pak Mamad dingin saja menanggapi bara yang ditunjukan istrinya. “Sruuup!” kemudian ia menyeruput Kopi paginya.
Tak ada tanggapan lain. Pak Mamad langsung membuang pandang. Melalui kaca jendela dapur. Jauh melintasi hamparan sawah. Tertumpu pada kaki gunung tempat berladang warga. Tenang.
“Malah bengong. Bapak harus cari solusi. Dia kan mantu bapak juga.”
Pak Mamad masih bergeming. Tidak menghiraukan keterangan istrinya. Ibu Mamad menatapnya tajam sambil berkacak pinggang.
“Pakkk!”
Pak Mamad kaget. Ia tidak menduga geledek menyambar. Nyaring sekali, di pagi yang tidak bisa dicegah cerahnya.
“Loh! Kok teriak?”
“Bapak yang gak hargai Ibuk ngomong.”
“Terus?! Aku bisa apa, Buk?”
“Mikir, Pak. Mikir!”
“Cak Lontong?!”
“Huh!” Dengan muka cemberut Ibu Mamad pergi dari dapur setelah menyodorkan gelas sekenanya hingga bersenggolan dengan piring. “Ting.”
“Loh! Kemana Buk? Gak Makan?”
“Kenyang!”
Maimunah memang sudah sukses menjadi wanita karir. Sesuai impiannya. Pergi pagi pulang sore.
Awalnya ia hanya seorang guru TK. Waktu ngajarnya tak lebih dari jam sebelas siang. Walau pun begitu, ia tidak bisa langsung pulang. Karena sebagian anak-anak TK baru dijemput jam dua belas siang. Maklumlah, sebagian orang tua muridnya menjadikan Taman Kanak Kanak sebagai tempat penitipan anak selagi jam kerja—sambil menyelam minum air.
Dua bulan yang lalu, Maimunah juga dapat kerja tambahan. Mengajar di kursus Komputer. Masuk jam satu siang, setelah Dzuhur. Perjalanan naik motor dari Kota Kabupaten—tempat kerja—ke Kampungnya sekitar lima belas menit. Bolak-balik setengah jam. Jika ia pulang dulu, hanya setengah jam waktu luang—di situ Salat dan mungkin telah berkeringat di jalan, ya harus mandi, terus dandan, makan siang; setengah jam pun hangus, tidak sempat istirahat apalagi ngusrusi rumah, lain lagi risiko di jalan—apa? Begitu pikirnya sebelum ia memilih tidak pulang.
Kursus Komputer di Kabupaten masih sedikit. Bahkan belum habis sebelah tangan pun jika dihitung dengan jari. Sebab itu, ia dapat jam terbang tinggi. Start jam satu, kelarnya jam lima sore. Oleh sebab itu, ia juga tidak kebagian urusan masak-memasak di sore harinya.
Alasannya tak lain karena kebiasaan keluarga Pak Mamad hanya ada makan sore atau petang, bukan makan malam. Adik-adik Wanto yang masih kecil-kecil tidak terima waktu makan itu berubah, bahkan hanya tiga puluh menit—Jam enam.
Siapa yang gantikan Maimunah masak? Siapa lagi kalau bukan Ibu Mamad. Soalnya, meski Wanto enam bersaudara, tidak ada berjenis kelamin yang lumrah menghiasi dapur. Maka dari itu Ibu Mamad gagal total istirahat. Urusan masak di pagi hari sungguh Maimunah tidak sempat selain hanya mencolokkan Rice Cooker,Ia dan Wanto saja sarapan di Kota, siang ia tidak pulang, sorenya juga tidak keburu. Kecuali hari libur, Ibu Mamad bisa merenggangkan otot. Tapi, ya hati sudah tak kusut duluan, meski rendang masakan Mantu, tetap saja lidah kurang terima.
Ibu Mamad lah yang dulunya memaksa Wanto segera melakukan Sunnah Rasul, selain karena sudah umurnya, juga ia ingin pensiun. Jadi wajar dalam dada terasa terbakar. Apalagi warga Kampung Suka Maju tidak mau memecahkan rekor sebagai tetangga yang tidak mencampuri urusan tetangga. Bisik-bisik tetangga semakin hari semakin menyulut bara. Adakah ibuk-ibuk tetangga tidak menjadi kompor bagi urusan tetangganya? Jarang, kampung soalnya.
Awalnya Wanto sedikit protes dengan Job time istrinya. Karena sama dengan jam kerjanya yang sebagai karyawan di Perusahaan Swasta penderesan getah Pinus.
“Gak kecapean nanti? Mending ngajar aja.”
“Gak lah Bang. Kerjanya santai aja. Beda kalau nyangkol di sawah. Hihi.”
“Bukan gitu...”
“Itu kan ngajar juga Bang,” Potong istrinya, seolah ia tau Wanto ingin protes.
Wanto memang suka dengan perempuan yang berprofesi Guru. Alasan itu juga salah satu pegangannya untuk menyunting Maimunah.
“Ya, sudahlah. Kalau bosan berhenti aja.”
Ia terpaksa mengalah. Karena sebelum mereka menikah, saat Wanto meminag, Maimunah hanya minta kalau ia ingin menjadi wanita karir, dan Wanto setuju. Walau sebenarnya Ia telah tau kegelisahan Ibunya yang tak kunjung istirahat. Tapi, bisa apa? Ia tak kuasa menepis janji. Setidaknya ia belum berani nego dengan Maimunah. Entah, nanti?
Gayo Lues, 2017
Baca juga catatan saya : Tentang Perjuangan Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H