Kalau SMA, saya kurang belajar tetap diperhitungkan. Tapi saat kuliah 'senantiasa' belajar tetap terpinggirkan. Pertanyaan-pertanyaan yang dianggap konyol tak jarang saya lontarkan pada teman dan dosen. Misal: saat hendak praktikum Fisika, "Apa tu labu Erlenmeyer? Oh ini ya. Terus buat apa ini?" Saat mau praktikum Bahasa Inggris, "Bantuin dong, alatnya gak bisa berfungsi." Padahal saya tidak tau, sebab belum pernah praktik. Ah, memalukan.
Tapi, lama kelamaan, saya terus berusaha. Karena pulang lebih memalukan daripada bertahan. Saya memotivasi diri dengan kata: orang juga makan nasi! Kenapa saya gak bisa!
Akhirnya saya bisa mengikuti dari belakang. Ya, namanya mengikuti pasti tetap berada di belakang, meski di semester-semester akhir masuk sepuluh besar. Alhamdulillah.
Itu dulu. Bagaimana sekarang?
Menurut saya sekarang, tahun 2017, masih saja serupa. Di kampung saya misalnya: cukup banyak anak yang berusia sekitaran SMP dan SMA putus sekolah. Sekolah tidak mampu mengajaknya bertahan. Karena saat ditanya, bukan orang tua yang memutus pendidikannya, tapi dianya tidak mau. Lain lagi yang masih sekolah, pergaulan malamnya sama dengan yang tidak sekolah—bukan belajar atau mengerjakan PR di rumah.
Meski kondisi pendidikan begitu mengenaskan: kurang minat, kurang (peng)-ajar, kurang peralatan, dsb. Tapi masih ada kisah-kisah ‘heroik’ untuk memperjuangkan pendidikan. Meski kisah-kisah nyata mereka tergolong ‘basi’ tapi jelas tersimpan makna yang patut diteladani. Apalagi pelakunya masih muda. Berikut tiga yang saya bagikan:
Pertama, Rela Jadi Lajang Lapuk Demi Pendidikan Keluarga
Zul hanya tamatan SD. Bukan ia enggan sekolah. Lelaki yang sudah mendekati usia kepala tiga itu terpaksa tidak lanjut ke SMP. Karena, selain keluarga yang kurang mampu membiayai juga saat itu ada pemahaman keliru jika sekolah akan menjadi lawan dari pihak GAM, saat konflik Aceh.
Zul punya tiga saudara. Ia merupakan anak sulung. Orang tuanya yang termasuk sebagai korban konflik Aceh, bernasib menengah ke bawah. Bahkan, dapat digolongkan miskin. Karena raskin selalu singgah pada keluarganya. Apalagi lima tahuan terakhir, bapaknya sering sakit-sakitan dengan tambahan usia semakin menanjak senja. Hal itu membuat ia harus rela menjadi sandaran keluarga. Ia menghidupi keluarga dengan bertani cabe dan sere wangi.
Karena sudah jarang pemuda single seusianya, membuat sanak saudara sering mengusulkan agar ia segera menikah. Termasuk kedua orang tuanya tidak tega terhadapnya. Pasalnya, seliweran cemooh banyak terbawa angin ke telinga keluarganya. Tapi, ia tetap menolak.
“Saya tidak akan menikah sebelum adik tamat.”