Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Apa Dipandang 'Hina' demi Pendidikan

25 April 2017   18:53 Diperbarui: 2 Mei 2017   18:28 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau SMA, saya kurang belajar tetap diperhitungkan. Tapi saat kuliah 'senantiasa' belajar tetap terpinggirkan. Pertanyaan-pertanyaan yang dianggap konyol tak jarang saya lontarkan pada teman dan dosen. Misal: saat hendak praktikum Fisika, "Apa tu labu Erlenmeyer? Oh ini ya. Terus buat apa ini?" Saat mau praktikum Bahasa Inggris, "Bantuin dong, alatnya gak bisa berfungsi." Padahal saya tidak tau, sebab belum pernah praktik. Ah, memalukan.

Tapi, lama kelamaan, saya terus berusaha. Karena pulang lebih memalukan daripada bertahan. Saya memotivasi diri dengan kata: orang juga makan nasi! Kenapa saya gak bisa!

Akhirnya saya bisa mengikuti dari belakang. Ya, namanya mengikuti pasti tetap berada di belakang, meski di semester-semester akhir masuk sepuluh besar. Alhamdulillah.

Itu dulu. Bagaimana sekarang?

Menurut saya sekarang, tahun 2017, masih saja serupa. Di kampung saya misalnya: cukup banyak anak yang berusia sekitaran SMP dan SMA putus sekolah. Sekolah tidak mampu mengajaknya bertahan. Karena saat ditanya, bukan orang tua yang memutus pendidikannya, tapi dianya tidak mau. Lain lagi yang masih sekolah, pergaulan malamnya sama dengan yang tidak sekolah—bukan belajar atau mengerjakan PR di rumah.

Meski kondisi pendidikan begitu mengenaskan: kurang minat, kurang (peng)-ajar, kurang peralatan, dsb. Tapi masih ada kisah-kisah ‘heroik’ untuk memperjuangkan pendidikan. Meski kisah-kisah nyata mereka tergolong ‘basi’ tapi jelas tersimpan makna yang patut diteladani. Apalagi pelakunya masih muda. Berikut tiga yang saya bagikan:

Pertama,  Rela Jadi Lajang Lapuk Demi Pendidikan Keluarga

Dok Facebook Zul
Dok Facebook Zul
Di tengah moncernya fenomena nikah muda. Ada seorang pemuda yang enggan memikirkan hal itu. Padahal usia sudah tergolong kadaluarsa—setidaknya orang-orang memvonis demikian. Zul namanya.

Zul hanya tamatan SD. Bukan ia enggan sekolah. Lelaki yang sudah mendekati usia kepala tiga itu terpaksa tidak lanjut ke SMP. Karena, selain keluarga yang kurang mampu membiayai juga saat itu ada pemahaman keliru jika sekolah akan menjadi lawan dari pihak GAM, saat konflik Aceh.

Zul punya tiga saudara. Ia merupakan anak sulung. Orang tuanya yang termasuk sebagai korban konflik Aceh, bernasib menengah ke bawah. Bahkan, dapat digolongkan miskin. Karena raskin selalu singgah pada keluarganya. Apalagi lima tahuan terakhir, bapaknya sering sakit-sakitan dengan tambahan usia semakin menanjak senja. Hal itu membuat ia harus rela menjadi sandaran keluarga. Ia menghidupi keluarga dengan bertani cabe dan sere wangi.

Karena sudah jarang pemuda single seusianya, membuat sanak saudara sering mengusulkan agar ia segera menikah. Termasuk kedua orang tuanya tidak tega terhadapnya. Pasalnya, seliweran cemooh banyak terbawa angin ke telinga keluarganya. Tapi, ia tetap menolak.

“Saya tidak akan menikah sebelum adik tamat.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun