“Kenapa ketawa?”
Jelas ia tidak mau dengan Jubaidah. Seharusnya memang ia menulis dengan tinta emas “Jubaidah” dalam daftar pilihan. Walau pun ia masih bingung ketika itu, setelah SMA ia baru tau kalau ia cinta sama Jubaidah bermula saat kelas tiga SMP.
Ia telah mengubur semua itu. Tepatnya sepuluh taun yang lalu. Ketika itu ia berusaha menggali perigi. Niatnya tak lain untuk memudahkan kehidupan yang akan datang. Tapi, bapaknya memandangnya rendah. Mengata-ngatinya dengan kasar. Jubaidah? Ah, ia bahkan sama sekali tidak berusaha menjernihkan. Melainkan ia menyiram perigi dengan tinta kebencian.
Lantas, sekarang apa ia harus menerima? Waktu memang penawar. Tapi, sejinak-jinaknya anjing, karena sifat kebinatangan telah tertanam sejak lahir, siapa yang bisa menjamin di kemudian hari tidak akan menyalak atau menggigit pada tuannya? Sehingga wanto, sejak itu telah membuang harap.
“Bik, sampaikan pada Ibu. Wanto akan cari sendiri peran pengganti Ibu?”
***
............
“Bagaimana saksi? Sah?”
“Sah!”
Wanto telah menemukan pengganti. Ibunya pun puas menerima pengganti perannya. Senyum simpul yang diiringi lelehan air mata bahagia sebagai buktinya.
“Kenapa pilih Guru TK dari pada Perawat?”