Wanto tak bisa lagi berkata-kata. Saat ibunya mengatakan ingin istirahat.
“Ibu sudah capek. Dari dulu, melulu ngurusi kamu dan adik-adikmu.”
Pagi itu, hatinya sungguh cukup tertampar dengan pernyataan ibunya. Suasana dingin yang diberi embun tersudutkan. Pukulan kata-kata ibunya berdaya kuat menghembus keademan udara pagi. Tohokan dari mulut yang kadang ia kangenin serempetannya—kadang ia undang sendiri—kini benar-benar membuatnya meriang.
Untungnya kecerahan pagi itu sedikit memberi hiburan. Cahaya yang dihempaskan Mentari dari langit cukup terang. Meski ada awan hitam di ufuk timur, tapi bulir-bulir cahaya kuasa menembus. Hingga kehadiran awan hitam itu menjadi dekorasi agung untuk keindahan pagi. Wanto coba mengelak.
“Ibu kan masih kuat,” Ia memulai. Ibunya masih mengaduk-ngaduk isi Wajan diatas tungku. “Liat aja, nasi goreng buatan ibu belum tertandingi.” Godanya.
Ibunya terus serius memainkan sendok. Sambil mengamati titik kesempurnaan masakannya. Ia tau, elakan putra sulungnya bukan badai besar yang mencengahnya istirahat. Harapannya masih terbuka.
“Ibu sudah malas membangunkanmu tiap pagi.”
“Ya, gak usah Bu. Eh, bukan pagi lo Bu, tapi subuh.”
“Ibu sudah malas mencuci bajumu.”
“Aku bisa cuci sendiri, Bu.”
“Ibu sudah malas memasak untukmu.”