Bumi memang sudah jengah menahan gersang. Tanahnya cukup lama menahan kering. Sebagian yang jadi debu menjadi tanda kalau bumi telah mengundang hujan menyirami. Namun, apa daya. Bumi hanya bisa berusaha dan berdo’a, menggoda. Hujanlah pemegang kendali mutlak: mau atau tidak menurunkan bulir-bulirnya untuk bersenggama dengan bumi, yang menurut pengamat telah melangkah menuju tandus—tanaman tertentu saja yang mau tumbuh diatasnya.
Karena ibunya sungguh ngotot ingin istirahat, ia pusing tujuh keliling. Apalagi kabar itu telah sampai pada neneknya. Gawat. Neneknya pasti ingin lebih cepat. Baru-baru ini tidak ada percakapan lain dengan neneknya. Melulu itu yang disinggung. Untungnya kakeknya tetap berposisi kontra neneknya. Jika itu terjadi, wanto tinggal menjadi wasit. Terkadang wanto ragu pasangan beruban itu telah bersatu lebih setangah abad. Ribut terus soalnya—walau tak ada piring terbang sih.
“Bukan gak mau Bik.” Sambil memikirkan bunga-bunga yang pernah ia pandang di taman. “Tapi, siapa Bik? Siapa?”
“Makanya gaul dong.” Masih ngeledek. “Kamu tenang saja. Ibumu sudah punya calon.” Lanjutnya dengan muka seolah dapat diskon 99% di supermarket. Kailnya mengangguk, tanda mengamini.
“Siapa Bik?”
“Coba tebak.” Kailnya menambah penasaran.
“Pingin, tau? Udah gak sabar?” Menggoda. “Jubaidah, Wan. Jubaidah.”
Wanto kaget. Kenapa Jubaidah? Tanyanya dalam hati. Iya memang gadis sebayanya itu kembang desa yang megah. Kumbang-kumbang desa hampir bisa dinyatakan semua telah meyambar penuh pesona. Apalagi lajang kopian dirinya—berkarat. Kabarnya yang mencoba datang ditepis mentah-mentah begitu saja.
“Emang Ibu kepala Puskesmas, apa?” Meski gak berharap, ia gak percaya.
“Aduh. Gak nyangka ya?! Asal kau tau, selama di rantau bapaknya dan bapakmu jadi teman dekat. Karena itu ibunya dan ibumu ikut dekat juga. Jadi,”Bibiknya berhenti sambil melirik suaminya. “Kalian dijodohkan. Begitu.” Terangnya.
“Hahaha.” Wanto tertawa sinis mendengar keterangan bibiknya.