“Ya, tenang aja. Aku bisa makan di warung sebelah, Bu.”
Ibunya menatapnya tajam. Kesal dengan jawabannya. Ia balas menatap tak kalah tajam, ngajak berantem: biasa, bercanda. Ibunya mengacungkan sendok. Keributan terhenti. Karena Wanto lari terbirit sambil ngikik.
***
Rupanya keinginan Ibunya untuk istirahat bersifat nyata. Hal itu baru sepenuhnya ia percayai saat adik perempuan Bapaknya—yang ia panggil Bibik*—dan suami bibiknya—yang ia panggil Kail**—digunakan orang tuanya sebagai ujung lidah.
“Bukan hanya Ibumu Wan, tapi bapakmu juga bermaksud.”
“Hah?! Bik, tolong jangan becanda berlebihan.”
Bagi wanto jelas posisinya semakin genting. Karena bukan hanya Ibunya yang menjadi lawan, melainkan bapaknya ikut serta. Sokongan lelaki yang sangat ia segani itu, bahkan saat diam, membuatnya semakin mati kutu.
“Jangan takut Wan. Kailmu siap bantu jurus.” Kailnya yang biasa guyonan dengannya memberi semangat.
“Ya. Urusan lain sok bijaksana. Giliran beginian, gemetar sampai ujung rambutnya.” Tambah bibiknya.
Walau saat mendengar bibiknya menyampaikan keseriusan orang tuanya, hatinya sudah kecut. Kini, meski kail dan bibik memberi dukungan padanya untuk maju, tetap saja ia tambah gerogi. Suaranya yang terang benderang tiba-tiba jadi gagap. Biasanya ia penguasa debat, seketika ia seolah sedang kebelet jika hendak membantah. Jelas tertangkap ia merasa serba salah.
“Ah! Gak gentle kamu.” Lidek bibiknya dengan gaya kekinian. Menurut keterangan Kalinya, memang bibiknya berlevel darurat sebagi korban sinetron.