Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kode Alam

17 April 2017   20:28 Diperbarui: 17 April 2017   20:54 1699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari warung itu bermacam perasaan tumpah: ada perasaan mengantongi Bintang dan memeluk Bulan; datar, biasa saja; ada seolah baru diputusin—dihianati—pacar; ada yang siaga digampar istri; ada yang tak bisa menelan ludah; ada yang kecewa pada alam; dll. Dan kesemua itu punya semangat pantang menyerah untuk bersua lagi di warung itu.

Muka anak muda yang baru bergabung di warung itu merekah. Segala sesuatu baginya akan menjadi mudah. Ia bahagia—Wanto namanya.

“Traktir. Traktir.” Temannya ikut merayakan keberuntungannya.

Meski ia tidak terlalu berlebihan merayakan keberhasilannya. Siapa pun tau kalau ia sedang bahagia.

Keberhasilannya, tak lain berkat mengikuti petuah orang gila. Awalnya ia tidak percaya. Karena ada rasa penasaran ia mencoba. Murni hanya sebatas coba-coba, sebab akalnya masih terlalu normal untuk percaya pada orang gila.

Maka, wajar ada semacam perasaan ingin balas budi melingkupi relung hatinya. Ia suka sekali balas budi. Ia mencari orang gila yang telah memberi amanah. Amanah itu membuat kantongnya kembung.

Lama ia mencari. Tidak ada. Orang gila itu tidak ada di tempat biasa. Orang yang berpakaian compang-camping dan kadang tanpa pakaian itu lenyap. Ia bertanya pada orang-orang sekitaran tugu kota. Tak ada satu orang pun yang tau. Malah senyuman aneh yang ia dapat. Orang gila itu tak ada lagi di kota kecil itu.

Pada menjelang senja, ia dapat kabar, tiga orang membawanya—mungkin saudara si orang gila. Ia berhenti mencari sebab orang gila itu sudah hilang di kota kabupatennya.

***

Masih dengan euforia keberuntungan kemarin. Ia memacu motor made in Jepang nya. Dengan beringas ia menelusuri jalan Kecamatan yang lurus. Kepulan asap dari knalpot membuat gelap parsial ruas jalan. Pengendara bermata rabun yang disalipnya, seketika menginjak pedal rem—memelankan motor karena pandangannya menjadi sangat buram. Dari kepulan asap membumbung dan rong-rongan suara motor menandakan hatinya memang sedang riuh riang.

Ia terus memutar pedal gas. Sambil memainkan kopling. Suara menderu-deru semakin indah—setidaknya menurutnya. Tanpa ada apa pun membungkus kepalanya terus menelusuri jalan dan melewati semua kendaraan. Tiba-tiba ia berhenti mendadak. Di Sebuah pertigaan, sebelum ia belok kanan perhatiannya teralihkan pada kerumunan di pinggir jalan. Sesuatu kecelakaan terjadi, kepalanya menangkap demikian.

Benar saja dugaannya. Ia bergegas turun. Pandangannya tertuju pada sebuah Matic yang terjengkang. Mengeluarkan secarik kertas dan pulpen. Ia mencatat dua deretan angka dari motor yang karam. Ia langsung bergegas tanpa menjenguk siapa pengendara yang masih tak sadarkan diri itu. Matanya hanya sekelas memandang sebelum startingmotornya: sepertinya ibuk-ibuk yang masih terbaring itu, tapi tak jelas. Bodoh amat, pikirnya. Orang yang tau apa yang ia lakukan menggeleng-gelengkan kepala.

Ia langsung tancap gas ke utara. Lurus. Sebelum ia belok ke arah barat menuju Ibu Kota Kecamatan tetangga, Cinta Maju, ia tertarik melihat anak-anak menunggangi kerbau di hamparan sawah yang baru panen. Ia berhenti sejenak. Mungkin hendak bernostalgia pada Wanto kecil. Sejenak ia di situ. Ia memerhatikan anak tanpa baju dengan celana panjang merah. Mungkin seragam SD yang sudah tak layak dipakai ke sekolah. Celana yang dikenakan anak itu bolong pada kedua belah sisi pantat. Ia tersenyum. Ia menulis angka 00 dan 010 pada secarik kertas. Ia langsung menuju Blangpegayon.

Di pertigaan Cinta Maju ia bertemu dengan sepupunya. Sepupu yang seusianya itu mencegat.

“Dari mana? Mau kemana?”

“Biasa. Jalan-jalan sore. Hehe.”

“Oh. Sambil cuci mata ya?”

Keduanya tertawa.

“Ayo ke rumah!” Sepupunya. “Udah lama gak singgah ko.”

Ia terpaksa singgah. Tradisi silaturahmi sesama sanak saudara memang salah satu warisan leluhur yang membanggakan. Meski semakin tergerus zaman. Sebagian bukan karena enggan mempererat hubungan, tapi tegur sapanya cukup melalu udara. Namun demikian ada juga yang tidak enak hati jika mengetahui kabar saudaranya lebih baik darinya. Macam-macam.

Wanto dan sepupunya melewati satu kampung. Sebelum sampai pada kampung yang dituju, rumah sepupunya. Ia berhenti di rumah yang sudah terlalu ketinggalan modern—berbentuk panggung. Wanto masuk dan menemui seorang yang sudah sepuh terbaring, Pak Ciknya. Ia duduk dan basa-basi dengan lelaki mendekati senja itu, yang baru diketahuinya sakit lambung.

“Pak cik sudah berapa umurnya?”

“Empat puluh tujuh.” Agak kesulitan pak ciknya menjawab.

Ia kembali mengeluarkan kertas. Lalu mencatat. Persis petugas sesus BPS. 407 dan 47 angka yang dicatat.

“Pak cik lahir, tanggal berapa? Dan bulan apa?” Ia lanjut bertanya.

“To, gak biasa dirayain ulang tahun. Gak usah bikin kejutan.”

“Bukan itu Pak cik. Tenang aja. Nanti kalau berhasil pak cik saya bagi.”

Melihat keseriusannya, pak ciknya beritahu tanggal dan bulan lahir yang diminta. Wanto sibuk mencatat beberapa angka. Sepupunya yang dari tadi diam, menyimpan perasaan kesal. Sepupunya tau apa yang dilakukannya. Ia menyesal mengajak singgah. Karena bapaknya sakit tidak dihiraukan Wanto. Malah menyusahkan dengan nanya-nanya gak jelas.

***

Di kampung-kampung—di daerah—permainan atau hiburan anak muda bersifat musiman. Saat ini di kampung wanto sedang musim main Bola Voly. Tak ayal lagi lapangan voly ramai sekali. Banyak dari kampung-kampung lain pemuda bertandang. Main voly.

Semua pemuda ikut bergabung. Setidaknya kalau tidak hobi bermain, ya menyaksikan. Yang hobi, setelah matahari memberi penerangan langsung meluncur ke lapangan—tak ada lagi urusan lain, kerjaan juga ditinggal, sebagian. Meski begitu karena lapangan dekat Masjid, pada saat Adzan keriuhan diheningkan sejenak. Tapi setelahnya langsung Smash, walau orang tua sedang Salat dalam Masjid. Kurang ajar, ya?

Wanto tidak hobi main. Sore itu sebagai pelipur lara ia ikut bermain. Hatinya masih digaruk-garuk rasa penasaran. Ia habis-habisan memasang angka yang ia dapat kemarin lalu. Dengan bermain ia berharap bisa menepis gundah. Karena lawan tanding tidak ahli juga, permainan tak lebih dari melepas canda saja.

“Nomor sudah keluar To.” Seorang teman seperjuangannya memberi kabar dari luar lapangan.

“Tembus?” Di sela-sela permainan ia bertanya.

Temannya menatap teliti pesan di Ponselnya. “Kosong To.” Suaranya lemas.

Seturut dengan temannya ia pun ikut lemas. Ia berhenti main. Gantinya masuk kegirangan. Langsung merebut Ponsel dari temannya. Ia periksa pesan di dalam Hp. Dari sakunya dikeluarkan secarik kertas dan mencocokan nomor dengan isi pesan. Tak lama ia banting Ponsel yang dipegangnya. Ia pergi meninggalkan temannya dan Ponsel yang sudah hancur.

***

Wanto telah dihajar angka babak belur. Karena candu telah menjadi selimut saban hari, ia belum surut. Mungkin juga karena ia telah mencicipi manisnya. Ia terus mencari kode alam. Padahal barang-barangnya sudah semua laku di pelelangan—dijual. Hanya menyisakan motor pembelian orang tuanya ketika SMA dulu. Itu juga separuh harga telah tergadai.

Kini ia sedang sibuk menghapal mantra. Ia baru saja balik dari para normal. Konon, orang sakti yang sudah ia jadikan guru itu punya indra keenam. Semacam menerawang masa depan.

“Ini bisa meramal angka, Kek?”

“Nomor K*lor calon istrimu juga bisa. Hah hah hah.” Jawab dukun itu agak cabul.

Mantra pemberian dukun itu membuat mulutnya komat-kamit di teras rumahnya, sebab ia belum hapal benar.

Neneknya berjalan tertatih tepat di jalan depan rumahnya. Neneknya seperti orang tua pada umumnya—cerewet, ada saja suara yang keluar dari mulut peotnya. Tiba-tiba neneknya jatuh berdebam ke dalam paret kampung bersama tongkat yang biasa dipakainya. Melihat neneknya terjengkang ia langsung loncat dari duduknya. Berlari menuju kejadian.

Napas nenek malang itu sudah tersengal-sengal. Ia mematung sambil mencatat umur dan tanggal lahir neneknya. Sebenarnya ia sudah hafal betul. Karena neneknya sering menjadi objek alam memberi kode.

Tanpa mengangkat perempuan tua yang sudah basah itu. Lalu Ia jongkok.

“Sebutkan empat angka yang nenek suku.” Ia langsung nyuruh neneknya menyebutkan angka. Ia menunggu jawab sambil memegang kertas dan pulpen.

“Ku,,, kurang ajar. Bantu!” Perempuan bau tanah itu mengutuk. Sekaligus minta bantuan.

“Ayolah, Nek. Bantu saya kali ini saja. Penting ini.”

Hatinya belum terbersit mengeluarkan neneknya dari paret sedalam 70 cm itu. Basah kuyub. Sulit bergerak, tongkatnya menjadi perangkap. Nenek it terjepit.

“Daaarr!” Wanto kaget. Bapaknya menamparnya dari belakang.

“Anak sampah.”

Bapaknya menghardik. Bapaknya sudah tau Wanto sedang mencari kode alam untuk memasang Togel—ia pensiunan serupa wanto. Ia perlahan pergi dengan perasaan tidak dapat dicari tau pastinya—akan insyaf atau tidak?

Gayo Lues, 2017

Cerita lainnya: Anak Bapak Orangnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun