“Tembus?” Di sela-sela permainan ia bertanya.
Temannya menatap teliti pesan di Ponselnya. “Kosong To.” Suaranya lemas.
Seturut dengan temannya ia pun ikut lemas. Ia berhenti main. Gantinya masuk kegirangan. Langsung merebut Ponsel dari temannya. Ia periksa pesan di dalam Hp. Dari sakunya dikeluarkan secarik kertas dan mencocokan nomor dengan isi pesan. Tak lama ia banting Ponsel yang dipegangnya. Ia pergi meninggalkan temannya dan Ponsel yang sudah hancur.
***
Wanto telah dihajar angka babak belur. Karena candu telah menjadi selimut saban hari, ia belum surut. Mungkin juga karena ia telah mencicipi manisnya. Ia terus mencari kode alam. Padahal barang-barangnya sudah semua laku di pelelangan—dijual. Hanya menyisakan motor pembelian orang tuanya ketika SMA dulu. Itu juga separuh harga telah tergadai.
Kini ia sedang sibuk menghapal mantra. Ia baru saja balik dari para normal. Konon, orang sakti yang sudah ia jadikan guru itu punya indra keenam. Semacam menerawang masa depan.
“Ini bisa meramal angka, Kek?”
“Nomor K*lor calon istrimu juga bisa. Hah hah hah.” Jawab dukun itu agak cabul.
Mantra pemberian dukun itu membuat mulutnya komat-kamit di teras rumahnya, sebab ia belum hapal benar.
Neneknya berjalan tertatih tepat di jalan depan rumahnya. Neneknya seperti orang tua pada umumnya—cerewet, ada saja suara yang keluar dari mulut peotnya. Tiba-tiba neneknya jatuh berdebam ke dalam paret kampung bersama tongkat yang biasa dipakainya. Melihat neneknya terjengkang ia langsung loncat dari duduknya. Berlari menuju kejadian.
Napas nenek malang itu sudah tersengal-sengal. Ia mematung sambil mencatat umur dan tanggal lahir neneknya. Sebenarnya ia sudah hafal betul. Karena neneknya sering menjadi objek alam memberi kode.