Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Komar Oh Komar

9 April 2017   12:00 Diperbarui: 13 April 2017   05:30 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Komar. sumber: https://makhluklemah.wordpress.com (09/04/2017)

Tapi, karena musim kemarau cukup langgeng. Membuat tanaman sulit tumbuh. Tanah kering. Kekeringan panjang itu mengeringkan pula kantong-kantong para petani, dan Komar sangat bergantung pada ada tidaknya rupiah orang-orang kampung—guna menyewa jasa tubuh ringkihnya. Sejalan dengan angin menerbangkan debu di kebun-kebun warga, turut melayang pula rezekinya. Ia terpaksa menerima pekerjaan berat yang ditawarkan padanya. Tawaran itu juga karena ada perasaan iba dari orang-orang—yang mengajaknya. Meski ada orang yang lebih segar, ia selalu diajak lebih dulu. Karena perasaan iba orang-orang kampung sebagai dasarnya.

Alasannya menerima dalam perasaan tidak mampu itu jelas karena dapur harus mengepul. Dapur memang tidak mau tau urusan lain. Selain itu juga untuk biaya anaknya sekolah. Anak-anak di kampung juga memang telah menunjukkan peningkatan; dari kebiasaan tidak harus pakai jajan ke sekolah menjadi jajan merupakan sebuah kewajiban.

“Ko, jangan produksi anak terus. Kamu juga yang susah.” Kata pak Mahmud di sela-sela istirahat di kebun.

“Jangan salahkan saya pak.” Jawabnya. “Salahkan cuaca, kenapa dingin.”

Keduanya terkekeh dibawah rindang pohon alpukat tempat mereka berteduh dari terik siang itu. Pak Mahmud memang suka bercanda. Sekeras apa pun ia mengajarinya, hatinya tak tertusuk. Ia juga orang yang paling perhatian padanya.

Ketiga anak-anaknya juga tidak bisa disalahkan, berjejernya kantin-kantin di sekolah dan sebagian guru ikut berjualan makanan ringan pada jam istirahat—konon, kadang di dalam kelas juga—menandakan jajan sebuah keharusan. Karena kewajiban terhadap anak ia terpaksa menuruti meski tertatih.

Komar tidak berjuang sendiri. Istrinya kadang juga membantu. Saat musim menaman padi, istrinya sering jadi buruh harian. Juga ketika masa panen padi, ia ikut kerja memotong padi. Karena orang-orang kampung menaman padi setahun sekali, maka bantuan dari istrinya hanya sebatas itu.

Pada suatu waktu Pak Mahmud pernah menawarkan kebun untuk digarapnya, ia memang tidak ada lahan kebun. Untuk menamam cabe. Saat harga cabe mahal-mahalnya. Ia menyambut baik dan mengiyakan.

Semak-semak belum juga bersih ia sudah mengundurkan diri. Bukan ia tidak tertarik berkebun sendiri. Tenaganya yang memang tinggal seberapa, membuat ia tidak bisa mengejar jadi buruh harian untuk memenuhi kebutuhan sambil berkebun. Padahal, orang-orang kampung memulai hidup dengan cara demikian.

***

Untung kadang datang tak terduga, demikian pula rugi kadang berlagak sebagai pencopet, tiba-tiba dompet dalam saku lenyap seketika. Walaupun kita di dunia selalu menjaga kesehatan, berharap senantiasa ditemani sehat. Namun manusia hanya mampu sebatas berharap dan berharap. Kadang mengerjap-ngerjap, tidak terduga sakit datang tanpa ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun