Ina adalah janda penuh pesona. Ia berpostur layaknya model fashion. Penampilan sehari-harinya yang menurutnya biasa, dianggap semua yang punya libido kelelakian mirip wanita muda sosialita hendak menghadiri giliran mendapat kocokan—arisan.
Semua mata yang bernafsu dan merasa mampu mempersunting hendak muncrat menatapnya. Mata-mata itu menggambarkan gairah yang meluap-luap ingin menyetubuhinya. Bagi mereka jalan biasa Ina umpama model barat yang berlenggak-lenggok diatas papan luncur kontes kecantikan. Penuh aura.
“Uedannn.”
Seorang mengumpat tanpa sadar.
Ina punya anak lumayan berbilangan. Setelah suaminya cukup umur di dunia, anaknya yang masih belia tentu perlu belaian seorang Ayah dan yang remaja jelas butuh didikan seorang Ayah. Itu sangat penting di desa Dunya.
Sudah menjadi peraturan, jika seorang anak sudah dewasa diharapkan menjadi suami baru Ibu-ibu yang melahirkannya. Mendidik saudara-saudaranya yang berganti status menjadi anaknya. Maka, tak ada seorang perempuan pun janda.
Setelah adanya tanda-tanda kematian suami, banyak anak yang antre. Terkadang nyawa sang suami masih nyangkut di tenggorokan, mengap-mengap, sang Istri sudah menetapkan pengganti. Bahkan para anak kadang sudah menyiapkan diri menjadi pengganti suami perempuan yang baru jadi pengantin. Konon lelaki yang sedang asyik menikmati kemolekan istrinya juga sering diguna-guna hingga istrinya memaksa cerai. Luar biasa memang nafsu lelaki pada wanita.
Berdasarkan taksiran orang-orang yang punya indra keenam. Suami Ina terdahulu meninggalkan warisan tak terhingga untuk anak-anaknya. Kepercayaan anak-anak atas terawangan itu membuat persaingan mempersunting Ina bernada tinggi. Saling mengklaim diri lebih pantas.
Menurut dalil dan tercantum dalam kitab-kitab kuno terdahulu persaingan menguasai Ina akan sangat ketat, darah segar dari para pendukung fanatik akan besar kemungkinan tumpah.
Tapi sebagian pendapat mengatakan sebaliknya. Merujuk Buku mereka, cuaca baru-baru ini melaju kencang pada kondisi modern. Agaknya cuaca itu dapat menggali kedangkalan otak. Otak yang dalam akan mengeliminasi peran keliru kekuatan otot.
Jadi, putusan itu memberi tanda kedinginan suasana? Jelas tidak. Melainkan persaingan akan semakin liar dengan alat-alat modern, dan kepiawaian otak mengkhayal sebagai modal.
Belasan anak dewasa turut bersaing. Wanita aduhai itu menentukan kriteria suami idaman. Karena syarat cukup rumit, maka tenggelam beberapa kontestan. Hanya tinggal dua saja dengan kesenjangan tak ubahnya langit dan bumi atawa musim hujan dan kemarau.
Satu berbadan tegap, ganteng dan dicap perkasa oleh sebagian warga desa; yang kedua berbadan kurus, kerempeng dan dicap jauh dari kata menawan. Keduanya memiliki keterampilan berbeda. Dukungan warga desa terbelah menjadi dua.
Benar saja, meski tanpa bacok-bacokan pertarungan sengit luar biasa terjadi. Opini-opini berbau amis konspirasi bergentayangan di udara. Masing-masing saling tuding pihak lawan berusaha membunuh dengan pedang terlarang.
Sehari sebelum Ina menentukan pilihan, kedua calon mengumumkan diri jadi pengantin. Orang-orang dibuat pusing tujuh keliling atas berita itu. Kontes tinggal menunggu pemenang, tapi lagi-lagi saling menuding pihak lawan berkhayal.
***
Ina bersiap memberi pengumuman. Orang-orang menunggu penasaran. Ina memegang gagang Toa. Orang-orang memasang telingga. Dag dig dug? Tentu saja.
“Suami pilihan saya adalah Fulan.”
Singkat saja pengumuman Ina.
Kor teriakan suka cita membahana. Menelusiri gang-gang desa. Mengibas-ngibas pepohonan. Berdansa dengan udara. Membelai awan. Menembus angkasa hingga mencapai langit. Kabar gembira pun barangkali tersiar hingga ke Surga.
Kor histeris duka cita pecah. Menggores gang-gang desa. Mematahkan pepohonan. Memutar-mutar udara. Menampar awan. Membelah angkasa hingga mencakar langit. Kabar pilu pun barangkali terdengar hingga ke Neraka.
Bagi yang pro calon beruntung pesta pora sudah waktunya, dan bagi yang sebaliknya sengsara akan buas memangsa—menurut meraka atau memang adanya demikian, tidak tau pasti.
***
Karena waktu terus menaiki anak tangga, Suami baru mulai merancang. Warisan-warisan dikelola dengan kemantapan logika. Semua itu untuk kebaikan anak-anak mereka. Dan tentu anak-anak berharap pada Ayah baru mereka agar mampu memperbaiki gizi-gizi yang selama ini diganggu virus dan gizi-gizi yang sudah baik bisa lebih baik lagi—sesuai janji lelaki itu sebelum jadi Ayah mereka.
Beribu-ribu anak tangga telah dilewati waktu. Hasil didikan suami sudah dapat dikalkulasi oleh otak. Berdasar hitungan, banyak anak yang merasa bangga dengan kinerja Ayahnya, juga tidak sedikit mengeluh kekurangan. Klaim dianaktirikan membuih. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan. Tapi sang Ayah santai saja.
Salah satunya:
“Ayah, saya lapar?”
“Sabar anakku.”
“Kami ini sudah kurus kering Yah.”
“Makanya, kita perlu bekerja bekerja dan bekerja.”
“Kami tau Yah. Tapi mana pekerjaan kami?”
“Tenang saja. Ayah sedang bekerja.”
“Tapi Ayah kelihatan tidak bekerja. Santai saja. Lagi pula kalau Ayah bekerja seharusnya memberi piutang, bukan ngutang mulu.”
“Kita butuh modal anakku.”
“Mereka-mereka itu akan merusak lumbung padi kita, Yah. kami ini modal terbesar Ayah bukan mereka.”
Muka Ayah mereka mengkerut.
“Itu. Lihat apa yang diperbuat Ayah terdahulumu.”
Sambil menunjuk gagang Cangkol patah. Mengalihkan topik tanpa memberi penjelasan. Meski hanya diam. Si anak menyimpan rasa ketidakpuasan.
Memang tidak ada yang tau pasti tentang anak-anak yang mengeluh—berdasarkan kenyataan atau ada anak yang ingin menggantikan posisi Ayahnya.
Gayo Lues, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H