***
Karena waktu terus menaiki anak tangga, Suami baru mulai merancang. Warisan-warisan dikelola dengan kemantapan logika. Semua itu untuk kebaikan anak-anak mereka. Dan tentu anak-anak berharap pada Ayah baru mereka agar mampu memperbaiki gizi-gizi yang selama ini diganggu virus dan gizi-gizi yang sudah baik bisa lebih baik lagi—sesuai janji lelaki itu sebelum jadi Ayah mereka.
Beribu-ribu anak tangga telah dilewati waktu. Hasil didikan suami sudah dapat dikalkulasi oleh otak. Berdasar hitungan, banyak anak yang merasa bangga dengan kinerja Ayahnya, juga tidak sedikit mengeluh kekurangan. Klaim dianaktirikan membuih. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan. Tapi sang Ayah santai saja.
Salah satunya:
“Ayah, saya lapar?”
“Sabar anakku.”
“Kami ini sudah kurus kering Yah.”
“Makanya, kita perlu bekerja bekerja dan bekerja.”
“Kami tau Yah. Tapi mana pekerjaan kami?”
“Tenang saja. Ayah sedang bekerja.”
“Tapi Ayah kelihatan tidak bekerja. Santai saja. Lagi pula kalau Ayah bekerja seharusnya memberi piutang, bukan ngutang mulu.”