Disaat sepi dan waktu senggang, aku sering kali mengenang kenangan bersama yang pernah tertulis di lembaran-lebaran waktu. Adakah kau demikian, Mira?
Seperti pagi ini ketika aku duduk di teras belakang rumah sambil menikmati beberapa helai Tempe goreng dan bakwan buatan Ibu.
Oh ya, hari ini aku libur ke Ladang Mira. Kemaren sepulang mengantar hasil panen, tiba-tiba gerimis sedang mengajakku berlari. Mungkin gerimis enggan aku menghabiskan senja di perjalanan yang sunyi. Tapi ternyata, tidak seperti biasa gerimis itu membuat pergolakan sengit di tubuhku.
Pagi ini cerah Mira. Air pada daun Pohon Mangga sepuh mengkilat-kilat diterpa cahaya matahari, seolah mengundang semua mata agar melirik. Jika dihitung-hitung pohon yang tetap kokoh ini telah memberi kerenyahan buahnya hingga tujuh generasi anak-anak Kampung. Wah.
Aku teringat kenangan kita di Jogja dulu Mira, saat PKL dulu, mungkin kau sudah lupa tapi tidak bagiku.
Kisah kita memang tak mellow drama Korea, kau juga mengakuinya. Atau barangkali bagi mereka yang tau tak lebih hanya layaknya drama komedi sebagai hiburan di minggu pagi. Namun bagiku, memutar ulang pita kenangan yang terekam sama saja dengan kesenduan Ilalang yang menunggu tetes embun pagi jatuh dari ujungnya.
***
Ketika itu kita asyik menonton tarian yang diiringi musik tradisional di Pendopo Keraton. Kau terkesima meilhat lenggak-lenggok perempuan penari yang penuh dandan kerajaan. Karena penonton semakin banyak, aku melangkah lebih ke dalam.
“Eh, gak boleh ke situ. Baca dong, kampungan amat.”
“Bahasa engris sih.”
Aku mengelak malu, karena pasangan paruh baya tersenyum melihat.