Mohon tunggu...
NewK Oewien
NewK Oewien Mohon Tunggu... Petani - Sapa-sapa Maya

email : anakgayo91@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keagungan Puasa dan Ironinya

4 Juli 2016   15:36 Diperbarui: 4 Juli 2016   15:44 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“kalau dia tidak tahan dia bisa berbuka siang nanti, yang penting dicoba dulu”

Pada sahur itu, mereka berlima menikmati sahur pertama mereka dengan nikmat. Setelah sahur, ketiga anaknya diajarkan oleh Donto do’a niat puasa. Dia sendiri langsung berniat puasa penuh satu bulan. Dengan hati yang mantap, dia yakin.

Beberapa hari puasa sudah dilalui. Aman – aman saja bagi mereka, kecuali sibungsu ada bolongnya. Nasibnya sebagai buruh serabutan yang memiliki penghasilan tidak seberapa, ternyata kurang cocok dengan tradisi ramadhan saat ini. Walaupun tinggal di.kampung, jajanan berbuka datang berbagai macam dan jenisnya. Sehingga membuat dia harus mengeluarkan uang setiap harinya. Bukan karena dia dan istri, tetapi anak – anaknya. Ironisnya lagi, belum sepertiga ramadhan pedagang pakaian keliling sudah bejibun. Tidak jarang juga digelar lapak dipinggir jalan, depan rumahnya. Ibu – ibu, anak – anak, bapak – bapak, kakek nenek dll, mengerumuni tumpukan pakaian. Istri dan anak – anak Donto tidak ikut berkumpul, karena belum punya uang.

“mak, si Ucil sudah beli tiga pasang baju dan sepatu. Saya kapan belinya mak?” kata sibungsu pada maknya.

“ia nanti, kita beli. Lebaran kan masih lama”

“tapi mak, itu lihat bajunya bagus – bagus, nanti yang bagusnya habis” sambil menunjuk tumpukan baju. Hari itu pedagang menggelar dagangan tepat didepan rumahnya.

“nanti kita membeli yang paling bagus, ayo kita masuk kedalam saja” sambil menuntun sibungsu masuk rumah. Hatinya sedih karena sudah membohongi anaknya. Mengutuki nasib yang menimpa dirinya dan yang lebih parah lagi hatinya mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Mempersalahkan kebodohan suaminya tidak bisa mencari uang. Dan menyalahkan diri, kenapa menerima lamaran orang miskin dengan alasan cinta. Cinta depersalahkan.

Hari berlalu, sampai dipenghujung puasa. Anak – anaknya terus mempertanyakan baju lebaran. Istri Donto selalu punya alasan menunda, dengan berbohong ini itu. Sampai akhirnya perasaan cinta kasih ibu pada anaknya, tidak bisa dibendung lagi. Bersiap mengamuk. Donto sebagai suami dan kepala keluarga akan menjadi korban. Sudah pasti, siapa lagi kalau bukan Donto.

Donto yang baru pulang mengaduk ‘adonan’ semen, pada sore hari dengan lemas dan lesu karena masih puasa. Kuat betul dia, sejauh ini puasanya aman – aman saja, walau bekerja cukup keras. Mungkin sesuai janji diawal puasa. Melihat istri tidak seperti biasa, hatinya bertanya – tanya. Pada saat itu anak – anaknya tidak dirumah.

“kok cemberut amat. Padahal sahurnya banyak” dengan nada bercanda.

“ihh bang, masih bisa ngelawak ya. Ini sudah mau lebaran. Anak – anak belum punya baju. Teman – temannya mengejek. Abang punya otak gak sih? Kalau saya sih gak beli baju, tidak apa – apa. Ini anak – anak lo bang. Mikir bang” guyonan Donto dibalas dempretan ‘maut’ dari isttrinya. Donta menrasa ‘tersengat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun