Mohon tunggu...
Gavin AS
Gavin AS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Ganesha

Lelaki dengan ketertarikan pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bio-Terorisme, Globalisasi, dan Bahayanya dalam Kehidupan Internasional

29 Desember 2021   18:30 Diperbarui: 29 Desember 2021   18:33 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Semenjak umat Manusia dapat berdiri di atas planet ketiga tata surya bernama Bumi ini, perjuangan untuk memposisikan di atas kelompok lain telah ada dengan alasan yang bervariasi; harta, tahta, dan wanita. Berbagai alasan ini mendorong Manusia untuk menemukan berbagai cara tuk mengalahkan lawan, baik lawan dari alam atau lawan sesama manusia; tombak, panah, pedang, musket, meriam, senapan, hingga bom nuklir. 

Tidak hanya instrumen kekerasan ini membawa kehancuran pada sesama Manusia, namun alam pula menjadi korban dari sikap primitif kemanusiaan ini. Dari alam ini juga, umat Manusia memanfaatkan mereka untuk menjadi instrumen kekerasan untuk mencapai apa yang diinginakan.

Penggunaan virus, bakteri, racun, dan berbagai macam kuman lainnya dalam kegiatan kekerasan Manusia telah dikenal sebelum Manusia mampu melayari Samudra Atlantik. 

Penggunaannya dalam perang pertama kali tercatat pada tahun 1347, ketika Pasukan Mongol menggunakan mayat-mayat berpenyakitan sebagai amunisi, dilemparkan ke kota Kaffa (sekarang Feodosiya, Ukraina). Manusia modern telah mengembangkan hal ini. Menjadi lebih efektif, efisien, dan dalam produksi masal. Konsep ini dikenal sebagai Biological Warfare (Perang Biologis).

Negara-negara besar; Uni Soviet dan Amerika Serikat memiliki program mereka masing-masing, dimana Uni Soviet menjadi pamong dalam perkembangan senjata biologis (sejak 1920 hingga 1992). Anthrax, tularemia, glanders, brucellosis, Q-fever, botulism, merupakan beberapa penyakit yang dipersenjatai oleh negeri-negeri ini dalam perjuangan mereka untuk mendominasi wajah politik dunia dalam Perang Dingin. Sayangnya, tidak hanya negara yang dapat memiliki senjata semacam ini. Terroris atau Politikus independen dapat memilikinya, dengan cara mendapatkannya yang berbeda-beda; mencuri, membeli, bahkan membuatnya sendiri.

Ini disebut sebagai Bio-Terrorisme. Ketika virus, bakteri, racun, atau penyakit yang dipersenjatai untuk membunuh tidak hanya Manusia, namun hewan dan tumbuhan juga. Kuman-kuman yang dilepaskan umumnya dapat ditemukan di alam. Namun kuman ini dibuat dan dirubah desain genetiknya untuk meningkatkan satu bagian atau seluruh properti internalnya; baik membuatnya menyebar lebih cepat, tahan akan panas atau dingin, dan dapat menahan penanganan medis. Tergantung tipe kuman yang digunakan, penyakit ini dapat menyebar melalui air, udara, atau makanan. Antara satu individu ke individu lain pun bisa.

Masa modern melihat berkurangnya aktivitas negara-negara dalam memproduksi senjata biologis. Walau begitu hal ini tidak membuang mereka dalam bagaimana kelompok-kelompok ekstrimis dalam menggunakan senjata-senjata biologis pada berbagai aksi terorisme yang dilakukan.

Hukum Internasional dalam Protokol Geneva pada tahun 1925 menaruh penggunaan senjata biologis (dan kimia) sebagai metode perang yang dilarang penggunaannya, namun tidak melarang kepemilikan atau perkembangannya. Terdapat beberapa lubang dalam protokol ini. Utamanya dalam kebijakan NFU (no-first-use) yang memperbolehkan penggunaan senjata biologis dan kimia bila penggunanya diserang terlebih dahulu dengan metode biologis.

Pada 20 Maret 1995, Tokyo dikejutkan oleh serangan gas sarin. Dilakukan oleh organisasi ekstrimis dikenal sebagai Aum Shinrikyo (). Korban dalam aksi terrorisme ini mencapai 1,000 korban lebih, dengan korban jiwa mencapai 14 orang. Mendalami kasus ini, organisasi Aum Shinrikyo tidak hanya memiliki kapabilitas dalam menciptakan dan menggunakan senjata kimia dalam bentuk gas seperti sarin, namun juga mencoba untuk melakukan aksi terorisme menggunakan kuman dalam bentuk botulinum toxin dan bacillus anthracis. Pengikut Aum tidak dapat melewati kesulitan dalam mengembangkan senjata biologis seperti ini.

Pada tahun 2019 di pertengahan Oktober, kepolisian Indonesia membuka kasus ketika sel dari kelompok teror Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang merupakan jaringan teroris pendukung ISIS mencoba untuk melakukan serangan bunuh diri di Cirebon, Jawa Barat dengan menggunakan racun abrin. Abrin sendiri merupakan racun alami tumbuh pada biji rosary pea. 

Dari berbagai serangan teroris yang dilakukan di Indonesia, kejadian ini merupakan pertama kalinya sebuah bomb dilengkapi oleh bahan biologis sebagai bahan pembentuknya. Namun kejadian ini merupakan kejadian kedua, karena pada tahun 2011 terdapat kelompok militan mencoba untuk membunuh polisi dengan menggunakan risin.

Bio-Terrorisme menampakkan ancaman nyata kepada Indonesia dalam beberapa dekade ini. Aksi terorisme domestik merupakan ancaman terbesar bagi keamanan publik. Negara tropis seperti Indonesia merupakan gudang bagi agen-agen biologis untuk berkembang biak, ditambah oleh status Indonesia sebagai negara agrarian membuatnya mudah untuk mendapatkan ancaman senjata biologis. Sementara itu kesiapan dalam menanggulangi pecahnya virus di Indonesia kurang mempuni dibandingkan negara lain.

Coronavirus/Covid-19 membuka mata kita sebagai masyarakat bahwasanya perlindungan Indonesia terhadap virus (baik itu penyebaran yang natural atau dibuat Manusia) masih sangatlah lemah. Di era global seperti sekarang ini, hubungan dekat dan terkoneksi antara satu negara dengan negara lain membuka tidak hanya efek positif namun juga efek negatif. 

Penyakit merupakan faktor negatif terbesar dalam dunia yang terinterkoneksi ini. Tanpa penanganan yang baik, penyakit-penyakit dengan rate penyebaran tinggi ini dapat memasuki kehidupan suatu negara dengan mudah. Merusak tidak hanya kesehatan masyarakat; termasuk juga ekonomi dan stabilitas finansial pemerintah dan rakyat.

Senjata biologis bukan senjata yang mudah untuk dideteksi. Penciptaannya yang mudah (terlebih di Indonesia) dan ekonomikal secara harga menjadikan benda ini sebagai incaran kelompok ekstrimis teroris. Produksi mudah bahkan dengan teknologi umum dapat didapat dengan mudah, selayaknya produksi vaksin, makanan, alat semprot, minuman, dan antibiotik. Aktivitas terorisme ini dapat diasosiasikan dengan minimalnya tingkat keamanan dan kurangnya pengawasan.

Terdapat sebuah kemungkinan kecil bila kelompok militan berhasil merekrut seorang ahli dalam biologis dan kimia untuk menjalani operasi untuk menciptakan senjata biologis. Hal ini sangatlah langka namun tidak diluar ekspektasi. 

Walau begitu, terdapat sedikit bukti yang dapat mendukung bila kelompok-kelompok teroris lokal dapat memproduksi senjata biologis secara masal. Inilah mengapa penggunaan senjata biologis oleh pihak militan ekstrimis masih tertahan dan sedikit, lebih berfokus pada penggunaan bahan-bahan biologis seperti abrin dan risin melalui operasi campuran dengan bom atau senjata tajam.

Terdapat beberapa hal yang harus dimengertikan oleh tidak hanya pemerintah, namun juga masyarakat Indonesia secara umum. Kemajuan bio-teknologi yang mesti dimengerti antara lain:

  1. Perkembangan cepat bioteknologi dan modifikasi genetik.
  2. Munculnya penyakit lama dan timbulnya berbagai macam penyakit baru.
  3. Kemungkinan penciptaan senjata yang dimodifikasu untuk menyerang target tertentu.
  4. Kemudahan dalam pembuatan senjata biologis.
  5. Kesulitan dalam membedakan pengembangan untuk perdamaian atau permusuhan.
  6. Kemampuan penyakit untuk membelah diri.
  7. Kemungkinan meningkatnya dependasi sebuah negara pada negara lain (geneticimperialism).

Penanganan Indonesia dalam menanggulangi penyakit, baik dalam bentuk pandemi atau serangan bio-terorisme masih dalam tahap perkembangan. Militer Indonesia (TNI) sebagai garis awal dalam pertahanan kemananan dan kesatuan negeri telah mencipatakn unit khusus untuk mengurusi serangan biologis. Covid-19 menjadi pelatuk terbesar. Menurut Komandan Udara Marsekal Hadi Tjahjanto, Covid-19 ini merupakan sebuah serangan skala global yang mengancam berbagai macam kehidupan.

Kunci dalam menhancurkan serangan semacam ini ialah dengan mengembangkan sistem keamanan tinggi, tidak hanya dalam kemiliteran (pembentukan unit perang biologis untuk menangani serangan) namun juga kepolisian dengan tanggung jawab melindungi masyarakat berskala domestik dan pengawasan-perusakan terhadap sel-sel terorisme di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun