Semenjak umat Manusia dapat berdiri di atas planet ketiga tata surya bernama Bumi ini, perjuangan untuk memposisikan di atas kelompok lain telah ada dengan alasan yang bervariasi; harta, tahta, dan wanita. Berbagai alasan ini mendorong Manusia untuk menemukan berbagai cara tuk mengalahkan lawan, baik lawan dari alam atau lawan sesama manusia; tombak, panah, pedang, musket, meriam, senapan, hingga bom nuklir.Â
Tidak hanya instrumen kekerasan ini membawa kehancuran pada sesama Manusia, namun alam pula menjadi korban dari sikap primitif kemanusiaan ini. Dari alam ini juga, umat Manusia memanfaatkan mereka untuk menjadi instrumen kekerasan untuk mencapai apa yang diinginakan.
Penggunaan virus, bakteri, racun, dan berbagai macam kuman lainnya dalam kegiatan kekerasan Manusia telah dikenal sebelum Manusia mampu melayari Samudra Atlantik.Â
Penggunaannya dalam perang pertama kali tercatat pada tahun 1347, ketika Pasukan Mongol menggunakan mayat-mayat berpenyakitan sebagai amunisi, dilemparkan ke kota Kaffa (sekarang Feodosiya, Ukraina). Manusia modern telah mengembangkan hal ini. Menjadi lebih efektif, efisien, dan dalam produksi masal. Konsep ini dikenal sebagai Biological Warfare (Perang Biologis).
Negara-negara besar; Uni Soviet dan Amerika Serikat memiliki program mereka masing-masing, dimana Uni Soviet menjadi pamong dalam perkembangan senjata biologis (sejak 1920 hingga 1992). Anthrax, tularemia, glanders, brucellosis, Q-fever, botulism, merupakan beberapa penyakit yang dipersenjatai oleh negeri-negeri ini dalam perjuangan mereka untuk mendominasi wajah politik dunia dalam Perang Dingin. Sayangnya, tidak hanya negara yang dapat memiliki senjata semacam ini. Terroris atau Politikus independen dapat memilikinya, dengan cara mendapatkannya yang berbeda-beda; mencuri, membeli, bahkan membuatnya sendiri.
Ini disebut sebagai Bio-Terrorisme. Ketika virus, bakteri, racun, atau penyakit yang dipersenjatai untuk membunuh tidak hanya Manusia, namun hewan dan tumbuhan juga. Kuman-kuman yang dilepaskan umumnya dapat ditemukan di alam. Namun kuman ini dibuat dan dirubah desain genetiknya untuk meningkatkan satu bagian atau seluruh properti internalnya; baik membuatnya menyebar lebih cepat, tahan akan panas atau dingin, dan dapat menahan penanganan medis. Tergantung tipe kuman yang digunakan, penyakit ini dapat menyebar melalui air, udara, atau makanan. Antara satu individu ke individu lain pun bisa.
Masa modern melihat berkurangnya aktivitas negara-negara dalam memproduksi senjata biologis. Walau begitu hal ini tidak membuang mereka dalam bagaimana kelompok-kelompok ekstrimis dalam menggunakan senjata-senjata biologis pada berbagai aksi terorisme yang dilakukan.
Hukum Internasional dalam Protokol Geneva pada tahun 1925 menaruh penggunaan senjata biologis (dan kimia) sebagai metode perang yang dilarang penggunaannya, namun tidak melarang kepemilikan atau perkembangannya. Terdapat beberapa lubang dalam protokol ini. Utamanya dalam kebijakan NFU (no-first-use) yang memperbolehkan penggunaan senjata biologis dan kimia bila penggunanya diserang terlebih dahulu dengan metode biologis.
Pada 20 Maret 1995, Tokyo dikejutkan oleh serangan gas sarin. Dilakukan oleh organisasi ekstrimis dikenal sebagai Aum Shinrikyo (). Korban dalam aksi terrorisme ini mencapai 1,000 korban lebih, dengan korban jiwa mencapai 14 orang. Mendalami kasus ini, organisasi Aum Shinrikyo tidak hanya memiliki kapabilitas dalam menciptakan dan menggunakan senjata kimia dalam bentuk gas seperti sarin, namun juga mencoba untuk melakukan aksi terorisme menggunakan kuman dalam bentuk botulinum toxin dan bacillus anthracis. Pengikut Aum tidak dapat melewati kesulitan dalam mengembangkan senjata biologis seperti ini.
Pada tahun 2019 di pertengahan Oktober, kepolisian Indonesia membuka kasus ketika sel dari kelompok teror Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang merupakan jaringan teroris pendukung ISIS mencoba untuk melakukan serangan bunuh diri di Cirebon, Jawa Barat dengan menggunakan racun abrin. Abrin sendiri merupakan racun alami tumbuh pada biji rosary pea.Â
Dari berbagai serangan teroris yang dilakukan di Indonesia, kejadian ini merupakan pertama kalinya sebuah bomb dilengkapi oleh bahan biologis sebagai bahan pembentuknya. Namun kejadian ini merupakan kejadian kedua, karena pada tahun 2011 terdapat kelompok militan mencoba untuk membunuh polisi dengan menggunakan risin.