Namun fakta yang ditangkap publik berbeda. Baik KPK maupun Kejaksaan Agung telah secara terang-terangan mempolitisasi hukum demi kepentingan pihak-pihak tertentu.
Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, disebut-sebut memaksakan penyelidikan dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E demi menetapkan Anies Baswedan sebagai tersangka. Dalam isu ini, Firli dituding melanggar azas-azas pelaksanaan tugas pokok KPK yang diamanatkan pada Pasal 5 Uu 19 tahun 2019.
Kengototan Firli untuk menersangkakan Anies tersebut mendapat penentangan dari internal KPK sendiri, terutama dari penyidik-penyidiknya. Lantaran itu, Fitroh Rohcahyanto dari Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di tengah kontroversi Formula E. Fitroh lebih memilih kembali ke instansi lawasnya, Kejaksaan Agung.
Dari kacamata politik, sebenarnya tidak ada yang salah pada sikap Firli. Toh, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang merupakan revisi UU KPK, KPK bisa mengeluarkan SP3 jika tidak bisa membuktikan sangkaannya.
Namun demikian, jika KPK baru menerbitkan SP3 setelah batas waktu akhir pendaftaran capres-cawapres, Anies tidak bisa dicalonkan sebagai capres dalam Pilpres 2024.
Politisasi hukum memang telah membuat banyak kalangan bersuara keras. Terlebih setelah Transparansi International Indonesia merilis skor IPK Indonesia pada 2022 adalah 34/100. Skor ini bukan saja memperlihatkan penurunan dari pencapaian IPK pada 2021 yang meraih 38/100, tetapi juga yang paling rendah pasca reformasi.
Penanganan Korupsi BTS BAKTI Kominfo Sarat Muatan Politik
Demikian pula pada penanganan dugaan korupsi BTS BAKTI Kominfo. Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung patut diduga kuat telah mempolitisasinya. Seperti halnya KPK, dalam kasus ini Kejagung diduga berupaya menekan Partai Nasdem untuk mundur dari pencalonan Anies Baswedan sebagai capres.
Pasca pendeklarasian Anies pada Oktober 2022 lalu, Nasdem mendapat tekanan dari dua arah sekaligus. Pertama dari PDIP yang terus menerus mendesak Jokowi untuk melakukan reshuffle kabinet dengan memecat menteri-menteri asal Nasdem.
Kedua dari Kejaksaan Agung yang diduga menyelipkan unsur-unsur politik dalam menindak dugaan korupsi BTS BAKTI Kominfo. Sebagaimana yang kerap dirumorkan, Kejaksaan Agung saat ini merupakan kepanjangan tangan PDIP.
Kedekatan Jaksa Agung dengan PDIP sempat menjadi sorotan. MAKI atau Masyarakat Anti Korupsi Indonesia. misalnya, menuding proses terpilihnya ST Burhanuddin sebagai Jaksa Agung berbau politis. Menurut MAKI, Burhanuddin dipilih sebagai Jaksa Agung karena kedekatannya dengan PDIP..
"Saya menduga pilihan kepada Burhanuddin sebagai Jaksa Agung karena faktor kedekatan dengan tokoh atau pengurus partai, yaitu adik kandung dari TB Hasanuddin," kata Boyamin dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo.co pada 23 Oktober 2019.