Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi Satelit Kemenhan: Kejagung Harus Belajar dari Perkara Asabri

17 Januari 2022   13:12 Diperbarui: 17 Januari 2022   13:30 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dikonversikan, USD 20 juta setara dengan Rp 286 miliar. Dengan demikian, total potensi kerugian mencapai sedikitnya Rp 786 miliar.

Jadi, berapa tepatnya nilai kerugian negara dalam kasus korupsi satelit Kemenhan? Rp 500 miliar atau Rp 786 miliar?

Tangani Korupsi Satelit Kemenhan, Kejagung jangan Ulangi Perkara Asabri

Dalam perkara korupsi satelit Kemenhan ini, Kejaksaan Agung pastinya menjeratkan tersangka dengan, salah satunya, Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999. Bunyinya, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".

Untuk ancaman pidananya, pasal tersebut menyebutkan penjara paling singkat 4 tahun dan selamanya 20 tahun. Untuk denda, pasal ini menyebutkan sedikitnya Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.

Sementara, Pasal 2 ayat (2) tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi satelit Kemenhan karena dalam pasal ini menyebutkan frasa "dilakukan dalam keadaan tertentu". 

"Keadaan tertentu' yang dimaksud adalah tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Dugaan korupsi satelit Kemenhan pastinya tidak menggunakan dana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). Selain itu, pelaku pun belum pernah melakukan tindak pidana serupa atau bukan residivis.

Masalahnya, bagi Kejaksaan Agung yang menangani kasus korupsi satelit Kemenhan ini, sesuai Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah dicabut. 

Selain itu, menurut Putusan MK yang diketok palu pada 25 Januari 2016 itu, kata "dapat" juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan keluarnya Putusan MK tersebut, frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" pada UU Tipikor ditafsirkan harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

Setelah keluarnya Putusan MK tersebut, dalam perkara korupsi satelit Kemenhan ini, Kejagung harus lebih dulu memastikan besaran kerugian negara. Sebab, jika angkanya masih berupa perkiraan, taksiran, atau masih berupa peluang, majelis hakim akan menolaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun