Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Asabri: Dissenting Opinion Hakim Mulyono Ungkap Ketidakhati-hatian Jaksa

8 Januari 2022   00:16 Diperbarui: 8 Januari 2022   01:12 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Tribunnews.com)

Dissenting opinion Hakim Mulyono Dwi Purwanto dalam perkara korupsi PT Asabri bukan saja menuai apresiasi dari sejumlah guru besar hukum pidana dari perguruan tinggi ternama melainkan juga membuka mata publik akan ketidakjelasan dalam hukum di tanah air. Selain itu, pendapat berbeda Hakim Mulyono juga sedikit banyaknya membongkar ketidaktelitian atau ketidakhati-hatian jajaran kejaksaan.

Hakim Mulyono merupakan salah seorang hakim anggota yang menyidangkan empat mantan petinggi PT Asabri. Keempatnya adalah Direktur Utama (Dirut) PT Asabri periode 2012-2016 Mayjen Purn Adam Rachmat Damiri, Dirut PT Asabri periode 2016-2020 Letjen Purn Sonny Widjaja, Kepala Divisi Keuangan dan Investasi PT Asabri periode 2012-2015 Bachtiar Effendi, dan Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri periode 2013-2019 Hari Setianto.

Dissenting Opinion Hakim Mulyono dalam Perkara Korupsi Asabri Senafas dengan Putusan MK

Sesuai Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, pada 2016 Mahkamah Konstitusi telah mencabut frasa "dapat" pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Dalam putusan yang diketok palu pada 25 Januari 2016 tersebut, MK mendalilkan  kata 'dapat' dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, kata "dapat" juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, delik korupsi dalam UU Tipikor yang sebelumnya merupakan delik formil berubah menjadi delik materil. Delik materiil ini mensyaratkan adanya akibat, dalam perkara korupsi, unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/pasti. 

Dengan keluarnya Putusan MK tersebut, frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" pada UU Tipikor ditafsirkan harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss), bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).

Dalam dissenting opinion-nya, Mulyono menegaskan bahwa Rp 22,7 triliun yang disebut-sebut sebagai kerugian negara dalam perkara korupsi PT Asabri, potential loss bukan actual loss.

"Berdasarkan BPK kerugian negara Rp 22,788 triliun yang berasal jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019 sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021 sehingga metode yang dipakai adalah total loss," ujar Hakim Mulyono dalam sidang pembacaan vonis perkara kasus korupsi PT Asabri yang digelar di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat pada 4 Januari 2022 seperti yang dikutip Liputan6.com.

Dengan demikian, dissenting opinion Hakim Mulyono telah senafas dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. 

Dissenting Opinion Hakim Mulyono Buktikan Ketidakhati-hatian Jaksa Perkara Korupsi Asabri

Pada tahun itu, 2016, MK menerbitkan sejumlah Putusan MK. Jika mencermati hasil pencarian Google dengan kata kunci "putusan mk 2016", muncul sejumlah tautan. Dan, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 merupakan yang paling mendapat sorotan. Putusan MK ini juga, masih dari hasil pencarian Google, paling banyak dikaji oleh sejumlah akademisi.

Karenanya sangat mengherankan apabila jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara korupsi PT Asabri sampai tidak mengetahuinya. Terlebih, salah satu situs, yaitu Kejari-jakbar.go.id,

https://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/arsip/berita/item/557-mk-putuskan-pasal-2-dan-3-uu-tipikor-harus-ada-kerugian-negara mengunggah pemberitaan tentang Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.

Seharusnya, sebelum membawanya ke pengadilan Tipikor, jaksa terlebih dulu memastikan besaran kerugian negara yang diakibatkan pengelolaan saham milik PT Asabri. Faktanya, hingga kasus korupsi Asabri naik ke persidangan, jumlah kerugian actual belum diketahui. Hal ini membuktikan ketidakhati-hatian atau ketidaktelitian jaksa.

Ketidakhati-hatian JPU dalam Korupsi Asabri juga Terbukti dari Tuntutan Mati terhadap Heru Hidayat

Namun, dalam proses persidangan, ketidakhati-hatian jaksa yang menangani perkara korupsi PT Asabri bukan hanya pada kerugian negara yang berupa potential loss, bukan actual loss sebagaimana amanat konstitusi, yaitu Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, tetapi juga pada pasal tuntutan yang berbeda dari pasal dakwaan.

Perbedaan antara pasal tuntutan dengan dakwaan tersebut terjadi pada sidang perkara korupsi dengan terdakwa Heru Hidayat selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera.

Dalam perkara itu,  pada 16 Agustus 2021, JPU mendakwa Heru dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal yang didakwakan jaksa tersebut berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ancaman pada pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun. Untuk denda sendiri dikenakan paling sedikitnya Rp 200 juta  hingga yang tertinggi Rp 1 miliar.

Tetapi, pada 6 Desember 2021, Jaksa Penuntut Umum menuntut Heru Hidayat dengan menjeratkan pasal yang berbeda, yakni Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal yang dituntutkan kepada terdakwa ini berbunyi, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." 

Masalahnya, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang dituntutkan JPU kepada Heru Hidayat ini tidak disertakan dalam dakwaannya. Dengan demikian, sebagaimana pendapat sejumlah pakar hukum pidana, tuntutan JPU yang berbeda dari dakwaan tersebut dikatakan keliru dan menyimpang.

Kedua ketidakhati-hatian JPU dalam perkara korupsi PT Asabri, khususnya perbedaan pasal tuntutan dari pasal dakwaan, memunculkan satu pertanyaan besar, apakah jaksa sedemikian cerobohnya?

Namun demikian, dalam perkara korupsi PT Asabri, bukan saja jaksa yang patut dipertanyakan kehati-hatiannya, majelis hakim pun demikian. Sebab dari seluruh anggota majelis hakim, hanya Hakim Mulyono yang dalam dissenting opinion-nya sesuai dengan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun