Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Asabri: Dissenting Opinion Hakim Mulyono Ungkap Ketidakhati-hatian Jaksa

8 Januari 2022   00:16 Diperbarui: 8 Januari 2022   01:12 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: Tribunnews.com)

Pada tahun itu, 2016, MK menerbitkan sejumlah Putusan MK. Jika mencermati hasil pencarian Google dengan kata kunci "putusan mk 2016", muncul sejumlah tautan. Dan, Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 merupakan yang paling mendapat sorotan. Putusan MK ini juga, masih dari hasil pencarian Google, paling banyak dikaji oleh sejumlah akademisi.

Karenanya sangat mengherankan apabila jaksa penuntut umum (JPU) dalam perkara korupsi PT Asabri sampai tidak mengetahuinya. Terlebih, salah satu situs, yaitu Kejari-jakbar.go.id,

https://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/arsip/berita/item/557-mk-putuskan-pasal-2-dan-3-uu-tipikor-harus-ada-kerugian-negara mengunggah pemberitaan tentang Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.

Seharusnya, sebelum membawanya ke pengadilan Tipikor, jaksa terlebih dulu memastikan besaran kerugian negara yang diakibatkan pengelolaan saham milik PT Asabri. Faktanya, hingga kasus korupsi Asabri naik ke persidangan, jumlah kerugian actual belum diketahui. Hal ini membuktikan ketidakhati-hatian atau ketidaktelitian jaksa.

Ketidakhati-hatian JPU dalam Korupsi Asabri juga Terbukti dari Tuntutan Mati terhadap Heru Hidayat

Namun, dalam proses persidangan, ketidakhati-hatian jaksa yang menangani perkara korupsi PT Asabri bukan hanya pada kerugian negara yang berupa potential loss, bukan actual loss sebagaimana amanat konstitusi, yaitu Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016, tetapi juga pada pasal tuntutan yang berbeda dari pasal dakwaan.

Perbedaan antara pasal tuntutan dengan dakwaan tersebut terjadi pada sidang perkara korupsi dengan terdakwa Heru Hidayat selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera.

Dalam perkara itu,  pada 16 Agustus 2021, JPU mendakwa Heru dengan menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal yang didakwakan jaksa tersebut berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Ancaman pada pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun. Untuk denda sendiri dikenakan paling sedikitnya Rp 200 juta  hingga yang tertinggi Rp 1 miliar.

Tetapi, pada 6 Desember 2021, Jaksa Penuntut Umum menuntut Heru Hidayat dengan menjeratkan pasal yang berbeda, yakni Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Pasal yang dituntutkan kepada terdakwa ini berbunyi, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan." 

Masalahnya, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang dituntutkan JPU kepada Heru Hidayat ini tidak disertakan dalam dakwaannya. Dengan demikian, sebagaimana pendapat sejumlah pakar hukum pidana, tuntutan JPU yang berbeda dari dakwaan tersebut dikatakan keliru dan menyimpang.

Kedua ketidakhati-hatian JPU dalam perkara korupsi PT Asabri, khususnya perbedaan pasal tuntutan dari pasal dakwaan, memunculkan satu pertanyaan besar, apakah jaksa sedemikian cerobohnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun