Timbul pertanyaan lagi, apa yang membuat JPU nekad menuntut hukuman mati dengan cara-cara yang keliru, bahkan bisa dikatakan ceroboh? Terlebih, tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus PT Asabri tersebut bisa dikatakan bertentangan dengan sikap Jaksa Agung yang notabene atasan JPU sendiri.
Logikanya, JPU dalam kasus korupsi PT Asabri tidak mungkin melakukan kekeliruan atau bahkan kecerobohan dengan begitu vulgarnya sehingga masyarakat awam pun mampu membacanya. Karenanya, dalam kasus ini, sikap JPU dalam kasus ini bisa dikatakan irasional.
Dengan menggunakan kacamata logika Rocky Gerung, maka dalam kasus korupsi PT Asabri ini ada alasan rasional yang mendorong JPU untuk menggunakan Pasal 2 ayat 2 dan mengambil putusan hakim dalam kasus suap Susi Tur Andayani sebagai contoh kasusnya.
Salah satu alasan rasional yang membuat JPU melakukannya adalah adanya dorongan kepentingan politik dari pihak tertentu. Karena begitu dipaksakan, makadorongan kepentingan politik dalam kasus korupsi PT Asabri ini tidak berdasarkan koridor hukum yang berlaku.
Hukuman Mati Kasus Korupsi Asabri untuk Kepentingan Siapa?
Sulit untuk mengetahui pasti dorongan kepentingan politik dalam kasus PT Asabri. Namun, secara kasat mata, publik dapat mengetahui bila tuntutan mati terhadap Heru Hidayat telah dimanfaatkan oleh sekelompok netizen untuk mendongkrak tingkat elektabilitas tokoh yang diperkirakan akan maju dalam Pilpres 2024. Salah satunya, kelompok pendukung Erick Thohir.
Permasalahan Jiwasraya sejak tahun 2000-an.
kementerian BUMN dibawah Erick Thohir yg melaporkan indikasi kecurangan Jiwasraya ke Kejaksaan Agung.
Sedangkan permasalahan Asabri sejak 2011, pak Erick jg yg laporkan ke kejaksaan agung.
Rezim ini yg bongkar, rezim ini jg yg difitnah. pic.twitter.com/1gUo9vDW2C--- Chusnul Chotimah (@ChusnulCh__) December 10, 2021
Sayangnya, akibat terlalu memaksakan diri, kelompok pendukung Erick Thohir tersebut kurang teliti. Sebab, pelapor kasus PT Jiwasraya dan PT Asabri bukan Erick, melainkan Rini Soemarno.Â
Rini yang merupakan Menteri BUMN pendahulu Erick melaporkan kedua kasus korupsi di lingkungan BUMN itu pada 17 Oktober 2019 atau tiga hari sebelum Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI untuk periode keduanya. Dalam laporannya, Rini menduga adanya fraud yang mengakibatkan PT Jiwasraya dan PT Asabri mengalami kerugian masing-masing investasi sebesar Rp 13,7 triliun dan Rp 8 triliun.
Akan tetapi, netijen pendukung pencapresan Erick Thohir pastinya tidak memiliki kekuasaan yang mampu mendorong JPU mengubah dakwaan yang semula menggunakan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menjadi pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam tuntutannya. Maka, tidak masuk akal bila netijen pendukung Erick dituduh cawe-cawe dalam tuntutan JPU.
Adanya kepentingan politik dalam tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri juga bisa dilihat dari sisi waktu (timing). JPU menuntut Heru Hidayat pada 7 Desember 2021.Â
Ketika itu tengah santer kabar tentang akan dilakukannya perombakan kabinet. Salah seorang pejabat yang diisukan akan dicopot, menurut rumor yang diberitakan sejumlah media, adalah pejabat yang terkait dalam kasus Korupsi PT Asabri. Pejabat ini didesak untuk dicopot lantaran diduga terseret dalam salah satu kasus besar yang menarik perhatian publik dan polemik menyangkut latar belakang pendidikannya.