Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi Asabri: Membaca Kecerobohan JPU dari Kacamata Rocky Gerung

22 Desember 2021   01:45 Diperbarui: 22 Desember 2021   01:45 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rocky Gerung (Sumber Tribunnews.com)

Kasus korupsi PT Asabri makin menarik untuk disimak setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengeluarkan tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa Heru Hidayat. Karuan saja, tuntutan JPU yang berbeda dari dakwaan yang tersebut memancing komentar dari sejumlah pakar hukum. "Keliru," begitu tandas salah seorang pakar saat menanggapi tuntutan JPU.

Menariknya, kekeliruan, atau bisa dikatakan sebagai kecerobohan, JPU tidak berhenti di situ. Saat membacakan replik atau tanggapan jaksa atas pledoi terdakwa Heru Hidayat pada 15 Desember 2021, JPU menggunakan perkara suap Susi Tur Andayani pada 2014 sebagai yurisprudensi atau contoh kasus di mana hakim memutus perkara di luar pasal yang didakwakan

Sebagaimana dalam duplik Heru Hidayat yang diberitakan Tribunnews.com pada 20 Desember 2021, putusan Pengadilan Negeri terhadap Susi Tur Andayani sudah dibatalkan oleh putusan kasasi. Alasan pembatalan perkara tersebut tidak lain dan tidak bukan karena hakim PN memutuskan di luar dakwaan.

Timbul pertanyaan, kenapa dalam kasus korupsi PT Asabri yang mendapat sorotan besar publik karena menyangkut kerugian negara senilai Rp 22,7 triliun ini, JPU yang pastinya merupakan jaksa-jaksa terpilih melakukan blunder fatal dalam tuntutannya?

Membaca Kecerobohan JPU Kasus Asabri dari Kacamata Logika Rocky Gerung

Untuk menakar tuntutan JPU dalam kasus korupsi PT Asabri ini bisa menggunakan kacamata logika Rocky Gerung. Dalam satu podcast-nya, Rocky mengatakan jika menemukan hal yang irasional, maka cari alasan yang membuatnya menjadi rasional. 

Dalam artikel "Korupsi Asabri: Tuntut Hukuman Mati, JPU Telikung Jaksa Agung" yang ditayangkan di Pepnews.com, tuntutan mati JPU bahkan berbeda dari sikap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang disampaikan Pada 28 Oktober 2021.

Jaksa Agung mengungkapkan sejumlah masalah dalam pemberlakuan tuntutan mati. Salah satunya, menurut Jaksa Agung, pidana mati hanya dapat diterapkan pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal, masih menurut Jaksa Agung, untuk menjerat pelaku dengan pasal tersebut harus memenuhi syarat "keadaan tertentu."

Dalam kasus korupsi PT Asabri, "keadaan tertentu" yang disyaratkan oleh Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tidak terpenuhi. Pasalnya, uang yang disangkakan dikorupsi oleh terdakwa Heru Hidayat bukan dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter. 

Selain itu, sekalipun sebelumnya sudah divonis hukuman mati dalam kasus korupsi PT Jiwasraya, Heru Hidayat pun tidak bisa dijerat dengan dengan pasal tersebut karena tidak melakukan pengulangan tindak pidana korupsi.

Timbul pertanyaan lagi, apa yang membuat JPU nekad menuntut hukuman mati dengan cara-cara yang keliru, bahkan bisa dikatakan ceroboh? Terlebih, tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus PT Asabri tersebut bisa dikatakan bertentangan dengan sikap Jaksa Agung yang notabene atasan JPU sendiri.

Logikanya, JPU dalam kasus korupsi PT Asabri tidak mungkin melakukan kekeliruan atau bahkan kecerobohan dengan begitu vulgarnya sehingga masyarakat awam pun mampu membacanya. Karenanya, dalam kasus ini, sikap JPU dalam kasus ini bisa dikatakan irasional.

Dengan menggunakan kacamata logika Rocky Gerung, maka dalam kasus korupsi PT Asabri ini ada alasan rasional yang mendorong JPU untuk menggunakan Pasal 2 ayat 2 dan mengambil putusan hakim dalam kasus suap Susi Tur Andayani sebagai contoh kasusnya.

Salah satu alasan rasional yang membuat JPU melakukannya adalah adanya dorongan kepentingan politik dari pihak tertentu. Karena begitu dipaksakan, makadorongan kepentingan politik dalam kasus korupsi PT Asabri ini tidak berdasarkan koridor hukum yang berlaku.

Hukuman Mati Kasus Korupsi Asabri untuk Kepentingan Siapa?

Sulit untuk mengetahui pasti dorongan kepentingan politik dalam kasus PT Asabri. Namun, secara kasat mata, publik dapat mengetahui bila tuntutan mati terhadap Heru Hidayat telah dimanfaatkan oleh sekelompok netizen untuk mendongkrak tingkat elektabilitas tokoh yang diperkirakan akan maju dalam Pilpres 2024. Salah satunya, kelompok pendukung Erick Thohir.

Sayangnya, akibat terlalu memaksakan diri, kelompok pendukung Erick Thohir tersebut kurang teliti. Sebab, pelapor kasus PT Jiwasraya dan PT Asabri bukan Erick, melainkan Rini Soemarno. 

Rini yang merupakan Menteri BUMN pendahulu Erick melaporkan kedua kasus korupsi di lingkungan BUMN itu pada 17 Oktober 2019 atau tiga hari sebelum Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI untuk periode keduanya. Dalam laporannya, Rini menduga adanya fraud yang mengakibatkan PT Jiwasraya dan PT Asabri mengalami kerugian masing-masing investasi sebesar Rp 13,7 triliun dan Rp 8 triliun.

Akan tetapi, netijen pendukung pencapresan Erick Thohir pastinya tidak memiliki kekuasaan yang mampu mendorong JPU mengubah dakwaan yang semula menggunakan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menjadi pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam tuntutannya. Maka, tidak masuk akal bila netijen pendukung Erick dituduh cawe-cawe dalam tuntutan JPU.

Adanya kepentingan politik dalam tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri juga bisa dilihat dari sisi waktu (timing). JPU menuntut Heru Hidayat pada 7 Desember 2021. 

Ketika itu tengah santer kabar tentang akan dilakukannya perombakan kabinet. Salah seorang pejabat yang diisukan akan dicopot, menurut rumor yang diberitakan sejumlah media, adalah pejabat yang terkait dalam kasus Korupsi PT Asabri. Pejabat ini didesak untuk dicopot lantaran diduga terseret dalam salah satu kasus besar yang menarik perhatian publik dan polemik menyangkut latar belakang pendidikannya.

Di tengah tuntutan masyarakat akan tuntutan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi, tuntutan hukuman mati terhadap Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri pastinya akan menaikkan citra positif pihak-pihak yang terkait dalam proses hukumnya.

Demi meraup pandangan positif masyarakat, pihak-pihak tersebut tidak peduli lagi bila penegakan hukum dalam kasus korupsi PT Asabri sejatinya tidak berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku. Padahal, yang diinginkan masyarakat sebenarnya adalah penegakan hukum yang setegas-tegasnya sesuai norma hukum di negara ini.

Dan, sesungguhnya, korban dari keserampangan dalam penegakan hukum dalam kasus PT Asabri bukan Heru Hidayat dan terdakwa-terdakwa lainnya, melainkan bangsa Indonesia sendiri. Dan, JPU yang menangani kasus ini pun adalah korbannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun