Dalam aksi itu, NSA menyadap komunikasi seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggunakan alat penyadap berupa perlengkapan elektronik. Alat penyadap milik NSA itu menangkap pembicaraan SBY yang dipancarkan oleh gelombang elektronik.
Sedang untuk kasus perekaman, contoh kasusnya adalah ditemukannya alat perekam di rumah dinas Jokowi ketika ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2013.Â
Alat perekam yang ditemukan itu digunakan untuk merekam suara-suara yang terdengar dalam radius tertentu. Kemudian, suara yang tertangkap oleh alat perekam tersebut dipancarkan ke pesawat penerima dengan menggunakan gelombang elektromagnetis ke radio penerima.
Kenapa kepada SBY dikatakan disadap sedang kepada Jokowi bukan?Â
Lihat Pasal 31 ayat 1 "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain."
Jadi, yang dimaksud penyadapan adalah jika si pelaku memasuki suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu mlik targetnya.Â
Di dalam kasus SBY, pelaku memasuki sistem komunikasi yang digunakan oleh SBY. Sedang dalam kasus Jokowi, pelaku merekam suara tanpa memasuki sistem elektronik apapun.
Maka, jelas perekaman yang dilakukan Maroef bukan hasil dari penyadapan, tapi perekaman. Dengan demikian UU ITE tidak bisa dikaitkan dalam kasus ini.
Karena tidak ada satu pun aturan di negara ini yang melarang merekam. Dan yang dilakukan Maroef pun bukan merupakan penyadapan, tetapi perekaman yang ilegal, maka rekaman "Papa Minta Pulsa" adalah legal.
Â
Tindakan yang dilakukan Maroef Sjamsuddin terhadap Setya Novanto Cs tersebut berpotensi dilakukan oleh warga negara lainnya. Jika Pasal 31 UU ITE tidak ditegaskan, maka tidak menutup kemungkinan ke depan ada warga negara yang mencoba merekam suatu perbuatan kriminal, namun ia sendiri bisa dijerat hukum.Â