Mohon tunggu...
Gatot Swandito
Gatot Swandito Mohon Tunggu... Administrasi - Gatot Swandito

Yang kutahu aku tidak tahu apa-apa Email: gatotswandito@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Popularitas AHY pada Demokrat Seperti Rhoma Irama pada Anaknya

23 Februari 2021   11:10 Diperbarui: 23 Februari 2021   11:54 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AHY (Sumber: Kompas.com)

Elektabilitas AHY, menurut hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) yang baru dirilis pada 22 Februari 2021, sebesar 4,8 persen. Dengan tingkat elektabilitasnya itu, AHY berada di peringkat kedelapan di bawah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ahok, Sandiaga Uno, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil.

Sayangnya pada survei bertajuk "Evaluasi Publik Terhadap Kondisi Nasional dan Peta Awal Pemilu 2024" tersebut, LSI tidak menyertakan tingkat popularitas.

Dengan tingkat keterpilihan AHY tersebut, sangat wajar apabila Partai Demokrat semakin mengukuhkan AHY sebagai harga mati calon presiden yang akan diusung dalam pagelaran Pilpres 2024. 

Sebenarnya, AHY sudah dibandrol harga mati capres oleh Partai Demokrat sejak putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono itu masih berusia 31 tahun. Hal ini terendus oleh pantauan Australian Signals Directorate (ASD) sepanjang 2009.

Sosok pria bernama lengkap Agus Harimurti Yudhoyono itu pun diupayakan naik ke pentas politik nasional. Langkah awal dilakukan dengan mengusung AHY sebagai Cagub DKI Jakarta 2017-2022. Namun usaha ini gagal setelah AHY tersingkir pada putaran pertama. Selanjutnya, AHY kembali digadang-gadang sebagai capres atau cawapres dalam ajang Pilpres 2019. Upaya ini pun gagal tanpa hasil.

Nama AHY mulai disebut-sebut oleh dalam bursa Pilpres 2019 sejak April 2017. Ketika itu Indo Barometer menyebut duet Jokowi-AHY memiliki elektabilitas tertinggi, yaitu 48,6 persen.

Untuk popularitas, bila dibandingkan dengan Jokowi, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto, tingkat pengenalan publik terhadap AHY ada di angka 71,7 persen. Sementara keempat tokoh lainnya berkisar di angka 96-99 persen.

Untuk menggenjot popularitas dan elektabilitasnya, AHY ditunggangkan ke kampanye calon-calon kepala daerah usungan Demokrat dalam Pilkada 2018. Di Jawa Barat, misalnya, AHY menunggangi kampanye pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang diusung Demokrat dan Golkar. 

Bahkan, di provinsi penyangga ibu kota Jakarta itu, kampanye AHY jauh lebih masif ketimbang pasangan cagub-cawagub yang diusung partainya. Poster, baliho, spanduk, dan media luar ruangan lainnya yang bergambar foto AHY lebih banyak dan menyebar rata di Jawa Barat. 

Hasilnya, pasangan Deddy-Dedi yang sebelumnya mengantongi masing-masing tingkat elektabilitas di peringkat kedua dan ketiga di bawah Ridwan Kamil harus menelan kekalahan. Keduanya hanya menempati posisi ketiga. Raihan suara pasangan tersebut berada di bawah pasangan Sudrajat-Syaikhu yang sebelum pendaftaran pasangan Cagub-Cawagub Pilgub Jabar 2018 nama keduanya tidak pernah disebutkan oleh semua lembaga survei.

Kekalahan kedua pasangan tersebut bisa dibilang begitu menyakitkan. Pasalnya, Dedy merupakan Wakil Gubernur Jabar Periode 2013-2018. Sebagai aktor terkenal di tanah air, popularitas Deddy paling tinggi di antara calon-calon lainnya. Sementara Dedi merupakan Bupati Purwakarta yang namanya sudah disebut-sebut sebagai calon kuat Gubernur Jabar sejak beberapa tahun sebelumnya.

Parahnya lagi, baru dalam Pilgub Jabar 2018, tokoh berlatar belakang artis hanya mampu menempati posisi ketiga. Sebelumnya, dalam Pilgub Jabar 2008, Dede Yusuf yang maju sebagai cagub berhasil memenangkan suara pemilih. Lima tahun setelahnya, Dedy yang juga maju sebagai cagub meraih suara terbanyak disusul pasangan aktivis anti-korupsi Teten Masduki-artis sekaligus anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka yang menempati posisi kedua.

Kekalahan pasangan Deddy-Dedi membuktikan bahwa pendongkrakan popularitas AHY justru kontraproduktif terhadap kampanye Deddy-Dedi. 

Dalam Pemilu Legislatif 2019, raihan suara Demokrat bisa dibilang anjlok dari pileg sebelumnya. Pada Pileg 2014, Demokrat berhasil meraup 10,9 persen suara. Namun, pada Pileg 2019, Demokrat hanya sanggup mendapatkan 7,77 persen suara. Fakta ini juga sekaligus membantah klaim elit Demokrat yang mengatakan suara Demokrat merosot pada Pileg 2014 lantaran banyak kader Demokrat yang terjerat kasus korupsi.

Jebloknya suara Demokrat pada Pileg 2019 merupakan salah satu bukti real bila pendongkrakan popularitas dan elektabilitas AHY justru kontraproduktif terhadap kampanye partai. Seperti halnya hasil Pilgub Jabar 2018, hasil Pileg 2019 adalah suara real pemilih yang berbeda dengan hasil survei. 

Pertanyaannya, kenapa popularitas AHY tidak mampu mendongkrak raihan suara Demokrat?

Siapa tak kenal Rhoma Irama? Raja Dangdut ini begitu populer. Saking populernya, tingkat elektabilitas Rhoma mencapai 98 persen. Sebuah tingkat popularitas yang nyaris sempurna. Dengan tingkat popularitasnya tersebut tingkat elektabilitas Rhoma tidak lebih dari 5 persen.

Popularitas Rhoma, bahkan, tidak mampu mengatrol perolehan suara kedua putranya dalam Pileg 2014. Kedua putra Rhoma, Ficky dan Ridho, meski ditaruh di urutan pertama daerah pemilihan (Dapil) masing-masing gagal menembus Senayan. Padahal di belakang nama keduanya melekat erat nama besar Rhoma.

Begitu juga dengan AHY. Popularitas AHY memang moncer di atas 70 persen, tetapi gagal mendongkrak raihan suara Demokrat dalam Pileg 2019. Karenanya, menggantungkan raihan suara Demokrat dalam Pileg 2024 pada popularitas dan elektabilitas AHY belum tentu membuahkan hasil yang diinginkan. 

Di sisi lain, tingkat popularitas tidak selamanya berbanding lurus pada tingkat elektabilitas yang bersangkutan, apalagi bagi pihak lain.

Tingginya tingkat popularitas bisa diraih dengan banyak cara, salah satunya semakin sering tampil di media. Tetapi, di dalam tingkat popularitas terdapat sentimen positif dan sentimen negatif. 

Bila sentimen positif lebih tinggi dari sentimen negatif, maka net sentimen otomatis positif. Sebaliknya, bila sentimen positif di bawah sentimen negatif, maka net sentimen otomatis negatif. Kedua sentimen inilah yang menghasilkan tingkat kesukaan dan tingkat ketidaksukaan. 

Pertanyaannya, sentimen mana yang paling mewarnai popularitas AHY, sentimen positif ataukah sentimen negatif? Dalam rangka pembentukan sentimen itulah diperlukan peran influenser dan pendengung.

Sial bagi AHY, namanya begitu identik dengan SBY. Dengan keidentikannya itu, serangan terhadap SBY sama artinya dengan menggembosi AHY. Inilah yang membuat langkah AHY semakin berat dalam upaya pencapresannya. Kader-kader Demokrat pastinya sudah menyadarinya. Begitu juga dengan SBY. 

Tetapi, dengan tingkat elektabilitas putra sulungnya yang menggiurkan tersebut, pertanyaan terpentingnya, benarkah SBY sungguh-sungguh berniat mencapreskan AHY? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun